Harga Pangan Melangit, Rakyat Kian Terhimpit
Oleh: Bunda Kayyisa Al Mahira
Lensa Media News – Lagi-lagi berulang, saat kaum muslimin bersuka cita menyambut bulan mulia, disuguhkan harga pangan yang semakin melangit. Tak ayal hal ini pun sangat memberatkan bagi rakyat yang sedang dililit masa sulit akibat pandemi yang tak kunjung usai. Lapangan pekerjaan semakin sempit, PHK pun terus bergulir, dan usaha banyak yang gulung tikar. Semua ini menyebabkan rakyat menjerit pilu, tak kuasa menanggung beban kehidupan yang kian menghimpit.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan, hari-hari saat ini ritmenya memang merangkak naik dengan persentase yang berbeda untuk setiap bahan pokok yang dijual. Beberapa komoditas ada yang (naik) sampai 50%. Daging ayam naik dari Rp 39 ribu ke Rp 45 ribu, itu yang terlihat sangat mencolok (kenaikannya),” katanya kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Minggu (11/4/2021).
Kemudian, harga minyak goreng juga naik mulai dari Rp 13.800 sampai dengan Rp 14.300. Lalu, harga telur ayam dari Rp 22.000 menjadi Rp 24.500, harga daging sapi juga tak ketinggalan dari harga Rp 128 ribu sampai dengan Rp 133 ribu per kilo. “Yang masih naik tinggi harga cabai rawit (jadi) Rp 90 ribu, normalnya Rp 35 ribu, naik 80% dari normal. Harga beras per kilogramnya untuk jenis IR 64 naik Rp 208 menjadi Rp 11.716 per kilogram. Harga minyak goreng curah naik Rp 98 menjadi Rp 14.194 per kg. Sementara harga telur ayam ras naik Rp 451 menjadi Rp 24.291 per kilogram. Kemudian harga ayam broiler naik Rp 826 menjadi Rp 41.485 per kg.
Menurut beberapa pengamat pasar, kenaikan harga pangan menjelang Ramadan dan lebaran nanti disebabkan karena kebutuhan bahan pokok melonjak drastis, sementara pasokan cenderung bersifat tetap atau berkurang.
Di samping itu jika kita teliti lebih dalam lagi penyebab melangitnya harga jelang bulan mulia dan lebaran yang terus berulang, di antaranya yaitu gaya hidup konsumtif masyarakat pada umumnya karena pengaruh paham kapitalis. Kemudian ketidaktegasan aparat hukum menindak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mempermainkan harga demi meraup untung yang banyak akibat penimbunan dan monopoli komoditas pangan.
Pada zaman Nabi SAW, saat harga barang-barang naik, Rasulullah mengembalikannya dengan mengikuti mekanisme supply and demand (persediaan dan permintaan) di pasar. Jika terjadi kenaikan harga barang karena supply yang kurang sementara demand-nya besar, maka negara melakukan intervensi pasar dengan cara menambah supply barang di wilayah tersebut, dimana supply barang didapatkan dari wilayah lain yang masih termasuk wilayah negara Islam, agar harga barang tersebut dapat turun dan normal.
Pada masa Khalifah Umar Bin Khattab, ketika wilayah Syam mengalami wabah penyakit yang mengakibatkan produksi barang berkurang. Khalifah melakukan kebijakan dengan cara memenuhi kebutuhan barang yang kurang di wilayah tersebut dengan memasok barang dari Irak. Kebijakan ini dilakukan untuk menjaga kestabilan kondisi pasar pada masa itu.
Lebih lanjut, terdapat beberapa kebijakan negara Khilafah untuk mengendalikan stabilitas harga, yang sesuai syariat di antaranya yaitu jika berkurangnya supply barang karena penimbunan, maka negara segera menindak tegas dengan menjatuhi sanksi ta’zir,& sekaligus mewajibkan pemiliknya melepaskan barang-barang yang ditimbun tersebut ke pasar.
Kemudian jika kenaikan harga tersebut terjadi karena penipuan, maka negara bisa menjatuhi sanksi ta’zir, sekaligus hak khiyar, antara membatalkan atau melanjutkan akad. Adapun, jika kenaikan harga terjadi karena faktor inflasi, maka negara juga berkewajiban untuk menjaga mata uangnya, dengan standar emas dan perak. Mata uang emas dan perak ini secara otomatis akan menstabilkan harga barang.
Maka saat Ramadan menjelang dan lebaran datang, harga pangan tidak perlu melangit yang menyebabkan kehidupan rakyat kian terhimpit. Sistem ekonomi Islam menjamin kestabilan harga, rakyat pun tenang dan sejahtera. Mari kita terapkan syariat Islam secara keseluruhan maka kesejahteraan dan keadilan merupakan sebuah keniscayaan.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]