Rusuh di Capitol Hill, Wajah Buruk Demokrasi Jahil

Oleh : Khya T. Yunia

(Member Akademi Menulis Kreatif)

 

Lensa Media News – “How Democracies Die”, itulah judul salah satu buku yang banyak mendapat perhatian dari dunia belakangan ini. Buku ini memaparkan tentang bagaimana sistem demokrasi akhirnya menjemput ajalnya sendiri. Dari demokrasi berubah menjadi tirani dan akhirnya lenyap sama sekali.

Apa yang disampaikan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya itu faktanya bukanlah isapan jempol belaka. Bukti-bukti nyata telah mengemuka di seluruh dunia. Hal ini bahkan terjadi di negara panutan demokrasi, Amerika Serikat (AS). Joe Biden telah memenangi Pemilu. Namun, rivalnya, Donald Trump tidak menerima kekalahan ini begitu saja.

Trump bersikukuh jika telah terjadi kecurangan selama proses pengambilan suara. Ia pun bertekad untuk terus maju dan tak akan membiarkan Biden menang tanpa perlawanan. Nampaknya, transisi pemerintahan AS kali ini tidak akan berjalan dengan mudah.

Trump dan pendukungnya telah konsisten melancarkan aksi protes atas kemenangan Biden. Hingga dunia pun tertegun saat unjuk rasa yang dilakukan para pendukung Trump itu berujung kerusuhan di Gedung Kongres, Capitol Hill, Washington. Para pengunjuk rasa yang berunjuk rasa di luar gedung tiba-tiba menerobos masuk ke dalam dan memicu kekacauan. Mereka melakukan aksi perusakan, memecahkan kaca jendela, menduduki kantor dan ruangan lain di dalamnya.

Serbuan pendukung Trump ini dilakukan pada Rabu (6/1) waktu setempat. Saat itu, Kongres AS tengah menggelar sidang gabungan untuk mengesahkan kemenangan Biden dalam pilpres AS 2020 (detik.com, 7/1/21).

Berbagai reaksi pun muncul dari seluruh dunia. Tindakan yang sangat tidak demokratis bahkan anarkis itu telah mencoreng citra demokrasi Amerika dan juga dunia secara umum.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan kerusuhan di Washington sebagai insiden yang “memalukan”. Menurutnya AS adalah simbol demokrasi di seluruh dunia dan sangat penting bagi AS untuk melakukan transisi kekuasaan dengan damai.

Sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa apa yang terjadi di Washington tidak mencerminkan Amerika. Dan Menlu Irlandia Simon Coveney menyebut insiden tersebut sebagai ‘serangan terhadap demokrasi’ (beritasatu.com, 7/1/21).

Sejatinya apa yang terjadi di AS itu bukanlah ‘serangan terhadap demokrasi’. Namun, apa yang terjadi adalah wajah buruk demokrasi itu sendiri. Bagaimana semua berawal hingga mencapai titik ini, semua adalah ‘fase hidup’ demokrasi.

Donald Trump mampu menduduki kursi kepresidenan AS adalah berkat demokrasi. Tampilnya seorang pemimpin yang tidak capable mengurus urusan rakyat adalah keniscayaan dalam demokrasi. Sebab mereka dipilih tidak selalu karena mereka memang mampu. Namun, suara publik lah yang memenangkan mereka. Sayangnya, suara rakyat ini amat mudah dimanipulasi dengan pengaruh, popularitas bahkan uang.

Di samping itu terpilihnya Trump sebagai presiden juga sebagai akibat dari kekecewaan publik Amerika yang tak lagi menaruh kepercayaan pada politisi dan partai politik konvensional. Mereka memilih Trump dengan harapan akan ada perbedaan besar dalam pemerintah AS. Trump pun dianggap sebagai pemimpin dengan visi baru.

Tren seperti ini telah terjadi di seluruh dunia. Hal ini seiring dengan kegagalan-kegagalan demokrasi dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sayangnya harapan baru itu pun selalu berujung dengan kekecewaan. Pemimpin baru faktanya tak pernah mengubah keadaan.

Maka, sudah jelas jika apa yang terjadi di AS adalah wajah demokrasi itu sendiri. AS yang menjadi rujukan bagi banyak negara di dunia tentang bagaimana politik demokrasi, kini justru menjadi contoh buruk dengan adanya aksi rusuh pendukung Trump tersebut.

Sehingga sudah saatnya dunia menyadari kesalahan besar saat menjadikan sistem buatan manusia sebagai pengurus urusan mereka. Krisis yang dihadapi dunia saat ini juga kegagalan pemimpin demokrasi dalam mewujudkan janji-janjinya menjadi beberapa tanda ‘sakitnya’ sistem yang tengah sekarat di seluruh penjuru dunia ini.

Maka, dunia membutuhkan sesuatu yang berbeda. Sebuah sistem yang tidak ternodai oleh kepentingan-kepentingan politik individu dan partai. Sebuah sistem yang pemimpinnya dipilih bukan berdasarkan suara rakyat yang sangat mungkin direkayasa.

Akan tetapi, sistem yang menjadikan pertanggungjawaban pemimpinnya hanya pada Allah Swt. bukan pada rakyat yang memberikan suaranya. Juga sebuah sistem dimana rakyat benar-benar dipandang sebagai warga negara dan diperlakukan secara adil dan penuh kehormatan. Sistem ini tidak lain adalah sistem Islam yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Sempurna.

Apa yang terjadi di Capitol Hill telah menunjukkan wajah demokrasi yang sesungguhnya. Kerusuhan itu juga telah menelanjangi jati diri Amerika dengan segala boroknya. Maka, sudah saatnya dunia beralih pada Islam dan menjadikannya sistem yang mengatur segala aspek kehidupan. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/ra]

Please follow and like us:

Tentang Penulis