Akibat Solusi Parsial, Nakes Banyak Meninggal

Oleh: Regnata Jala P. Putri, S.Pi

(Aktivis Sosial Surabaya) 

 

Lensa Media News – Duka, jelas terasa mewarnai pergantian tahun ini. Bagaimana tidak, evaluasi catatan kesehatan menunjukkan jumlah kematian tenaga kesehatan terus meningkat. Menurut Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi, kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia, bahkan masuk urutan 5 besar di seluruh dunia.

PB IDI juga mengumumkan data total petugas medis dan kesehatan yang gugur akibat terinfeksi Covid-19 dari bulan Maret-Desember 2020 mencapai 504 orang, dengan rincian 237 dokter, 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, dan 10 tenaga laboratorium medis. Sebanyak 96 di antaranya meninggal dunia pada Desember 2020. Ini merupakan angka kematian nakes tertinggi dalam sebulan selama pandemi berlangsung di Tanah Air.

Inisiator Pandemic Talks, Firdza Radiany, mengatakan bahwa jumlah tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal karena Covid-19 jauh lebih besar dari jumlah kematian warga di 6 negara Asia Tenggara. Bahkan, positivity rate atau tingkat penularan di Indonesia konsisten 14-15 persen selama beberapa bulan. Angka ini melebihi standar WHO maksimal 5 persen. Semua terjadi karena pemerintah tidak bisa mencapai standar 3T, yaitu testing, tracing, dan treatment (tempo.com, 03/12/20).

Jelas Indonesia telah rugi besar karena kehilangan investasi sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan. Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengungkapkan data WHO bahwa minimnya jumlah dokter di Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia (kompas.com, 31/08/20). Artinya, kehilangan 100 dokter sama dengan 250.000 penduduk tidak punya dokter. Padahal negeri ini sedang berperang maraton melawan Covid-19. Kehilangan tenaga medis adalah salah satu sinyal serius, yakni betapa masih lemahnya program pengendalian pandemi.

Solusi yang ditempuh selama ini selayaknya harus dikaji ulang, lantaran bersifat parsial, hingga belum sepenuhnya mengatasi pandemi secara tuntas. Menurut pakar hukum, setidaknya ada tiga catatan penting dalam tata kelola penanganan covid-19, antara lain: Pertama, aspek kelembagaan yang masih menitikberatkan kepada pendekatan ekonomi jangka pendek semata dibandingkan dengan pendekatan kesehatan. Kedua, pelaksanaan PSBB masih birokratis dan tidak sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketiga, pengambilan kebijakan yang tidak konsisten, tercermin dari masih adanya pelonggaran seperti dalam pilkada sebelumnya (hukumonline.com).

Solusi parsial tersebut tidak lain akibat lahir dari paradigma kapitalis demokrasi. Hasilnya, sistem kesehatan berjalan sesuai kepentingan untuk meraih keuntungan (profit). Bukannya memberikan manfaat (benefit) sebesar-besarnya bagi masyarakat agar hidup sehat, aman, damai dan sejahtera. Jika upaya menyelematkan nyawa rakyat akan menggerus ekonomi negara, pastilah akan terus bertambah jumlah kematian dari pandemi ini.

Alhasil, perlu adanya langkah tegas dan berani dalam menerapkan sistem yang benar. Sistem yang akan mampu membenahi seluruh aspek masalah yang ada. Karena realitanya pandemi membawa dampak sosial yang luas. Tidak sekedar masalah kesehatan, namun juga ekonomi dan pendidikan yang terasa sulit. Sistem itu tidak lain adalah Islam yang dijamin lengkap aturannya, tinggal mau apa tidak menerapkannya.

Poinnya, sistem kesehatan dalam sejarah Islam yang paling berperan penting adalah negara. Negara yang bertanggungjawab atas setiap nyawa karena nyawa lebih berharga dari dunia dan seisinya. Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan primer rakyatnya. Kembali lagi diingatkan bahwa menangani wabah telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., termasuk pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab.

Beliau memerintahkan untuk menjauhi suatu negeri yang terdampak wabah, begitu pula sebaliknya (bisa dibaca lockdown). Rasulullah bersabda, “Tha’un (penyakit menular/wabah kolera) adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu menjangkit suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR. Bukhari Muslim).

Wallahua’lambishawwab.

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis