Adakah Dalam Demokrasi Harapan ?
Oleh : Miliani Ahmad
(Muslimah Penulis Ideologis)
Lensa Media News – Sejak lahirnya demokrasi digadang-gadang sebagai sistem pemerintahan yang paling ideal. Demokrasi didamba menjadi pintu yang mampu mengakomodir keperluan dan kebutuhan masyarakat dalam pemerintahan. Demokrasi pun dipahami menjadi jawaban sebagai bentuk menyalurkan aspirasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang.
Dalam sejarahnya, demokrasi muncul sebagai solusi atas kediktatoran yang dipandang buruk oleh masyarakat. Demokrasi dimunculkan sebagai sistem alternatif yang dianggap mempunyai nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan untuk masa depan umat manusia. Karl Popper seorang filsuf dan profesor asal Viena dan Inggris mendefinisikan bahwa demokrasi berbeda dengan kediktatoran atau tirani. Tak kalah dari pendapat Karl, Presiden AS pun bahkan menyebutkan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Mantra dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat inilah yang sering didengungkan untuk memudahkan manusia menerima demokrasi. Membius sekaligus mematikan. Berduyun-duyun masyarakat dari timur sampai barat, Eropa sampai Asia berbangga menggunakan demokrasi. Lambat laun, demokrasi telah menjadi sandaran bahkan telah telah bermetamorfosa menjadi tuhan yang disembah secara massal dalam ranah bermasyarakat dan bernegara.
Nyatanya, harapan terhadap demokrasi tak seindah yang didapatkan. Pada perkembangannya, demokrasi justru menjadi alat represif yang makin melanggengkan kediktatoran. Demokrasi makin mengakomodir segelintir masyarakat untuk memerintah dan memaksa segelintir masyarakat lainnya. Memakai istilah Isaiah Berlin, “gairah serigala menerkam domba, seperti juga liberalisme kekuasaan menerkam si lemah dan kurang berbakat” (Sorensen, 2008).
Begitulah demokrasi. Harapan yang dijanjikan semu belaka. Mengedepankan aspirasi rakyat nyatanya hanya jargon dan kamuflase untuk pencitraan terhadap sistem yang dijalankan. Sebagai sebuah sistem , di negara kampiumnya saja (Amerika Serikat) demokrasi pun mengalami kecacatan permanen. Untuk mengamati hal demikian, ada baiknya menyimak tulisan William Blum, seorang pakar anti-mainstream yang meninggalkan tugasnya di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat pada 1967 karena berseberangan dengan kebijakan AS di Vietnam.
William Blum dalam bukunya “Demokrasi : Ekspor Amerika Paling Mematikan”, dari buku America’s Deadlient Export Democracy menuliskan ambisi Washingthon untuk membangun demokrasi yang mendalam ataupun kebebasan, dunia yang lebih adil, menghentikan kemiskinan atau kekerasan, atau planet yang lebih layak huni, nyatanya bukanlah tujuan. Lebih dari itu ternyata tujuannya adalah motif ekonomi dan ideologi.
Blum pun menulis, “tujuh puluh negara di dalam proses tersebut, AS telah mencabut nyawa beberapa juta orang, membuat jutaan orang lainnya hidup dalam kepedihan dan penderitaan, serta bertanggung jawab terhadap penyiksaan yang dilakukan atas ribuan orang lainnya”.
Realitas ini menunjukkan bahwa menjadikan demokrasi sebagai harapan jelas salah sasaran. Menyandarkan pengaturan kehidupan pun terhadapnya juga sangat berbahaya, setidaknya manusia harus melepaskan harapannya dari demokrasi dengan alasan:
Pertama, demokrasi merupakan ciptaan dari akal manusia yang serba lemah. Akal manusia tak akan mampu menjangkau serta menghadirkan sistem kehidupan yang sempurna. Keterbatasan akal pun dalam melahirkan putusan lebih banyak diwarnai dengan pertikaian dan pertentangan. Apalagi akal manusia kerap berada di bawah hawa nafsunya. Maka putusan yang lahir dari demokrasi pun akan mengikuti kecenderungan hawa nafsu.
Tak heran jika demokrasi yang pada awalnya diharapkan memihak pada rakyat, akhirnya malah berselingkuh abadi dengan kapitalisme. Jadilah kebijakan-kebijakan yang lahir mengikuti kehendak para kapital sebagai politik balas budi terhadap para pejabat yang menginginkan kekuasaan.
Kedua, demokrasi lahir sebagai bagian dari sekularisme. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan ini, telah menjadikan demokrasi berjalan dan disetir guna memuluskan agenda yang meliberalkan aspek kehidupan. Demokrasi menjadi wasilah lahirnya banyak kebijakan yang tak bersandar pada tuntunan dan ajaran Ilahi. Agama dianggap sebagai batu sandungan untuk memuluskan kepentingan. Maka tabiatnya demokrasi, pasti akan menghilangkan unsur-unsur agama dalam realisasi kebijakannya.
Tak ayal, berharap pada demokrasi ibarat berharap pada pohon yang telah busuk akarnya. Dipindahkan ketanah subur manapun, dipupuk dengan pupuk terbaik pun dan disiram dengan air terbaik manapun tetap ia tak akan bertahan untuk mengatur kehidupan. Karena, sejatinya demokrasi adalah sistem terburuk yang wajib dicampakkan. Ia tak mampu memberi kebaikan sedikit pun meskipun dipoles dengan dandanan tercantik.
Wallahua’lam bish-showwab.
[ry/LM]