Tega! Dana Bansos Dikorupsi, Masihkah Percaya pada Demokrasi?

Oleh: Azma Nasira S.
(Pegiat Medsos)

 

 

Lensam Buedia.com– Dikutip dari CNN Indonesia pada Senin, 07/12/20, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) dalam rangka penanganan dampak pandemi virus corona atau Covid-19. Ketua KPK, Firli Bahuri menduga pejabat tersebut menerima Rp. 17 miliar dari korupsi bansos sembako untuk keluarga miskin yang terdampak Covid-19.

 

Dari fakta di atas, korupsi seakan tidak pernah mati. Bahkan meski di masa pandemi, tidak lantas membuat mereka mengurungkan niatnya. Padahal mereka pun pasti tahu hal itu dapat merugikan rakyat kecil. Perilaku demikian dapat disebut dengan perilaku hedon, yaitu perilaku lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri meskipun hal itu akan mengorbankan orang lain.

 

Hal itu terjadi karena sistem ini tegak di atas asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan secara umum. Dari asas sekularisme ini juga lahir aturan buatan manusia yang sifatnya lemah dan dapat ditarik ulur sesuai kehendak pembuat aturan. Maka wajar jika hukum dalam sistem demokrasi sering berubah. Bahkan lebih sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas dalam penerapan hukumnya.

 

Sehingga tidak heran, jika kasus korupsi tetap tinggi di negeri ini. Meski telah ditetapkan hukuman bagi koruptor. Jadi sebenarnya kasus korupsi seharusnya tidak hanya dipandang sebagai masalah individu saja, melainkan karena sistem. Sebab sistem ini memberi celah dan kesempatan seseorang melakukan korupsi dan hal-hal lain yang Allah tidak ridhai.

 

Lalu, apakah korupsi bisa diakhiri? Bisa, jika sistem yang mengatur kehidupan masyarakat adalah sistem Islam. Sistem pemerintahan yang shahih, yaitu Khilafah Islamiyyah. Dari dalamnya akan lahir individu-individu yang bertakwa Tunduk dan taat kepada Allah, Rasulullah, dan syariat Islam. Sebab individu-individunya dibangun atas landasan akidah Islam yang kuat.

 

Dalam sistem pemerintahan Khilafah, kedaulatan hukum berada di tangan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Yusuf ayat 40 yang artinya “Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah”. Maka aturan yang berlaku adalah hukum Allah yang tidak bisa diutak-atik ataupun direvisi sesuai kehendak manusia. Hal ini dapat menjauhkan peluang terjadi kecurangan penguasa.

 

Adapun aturan yang diterapkan Khilafah untuk mencegah korupsi adalah, pertama adanya badan pengawasan atau pemeriksa keuangan. Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Ketiga, ketakwaan individu. Keempat, amanah. Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras.

 

Dalam sistem pemerintahan Khilafah, korupsi disebut dengan perbuatan khianat. Pelakunya disebut khaain. Khaain adalah tindakan seseorang yang menggelapkan harta yang diamanahkan kepadanya. Karenanya, hukuman bagi khaain bukanlah potong tangan sebagaimana pencuri. Tetapi diberikan sanksi ta’zir yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.

 

Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR. Abu Daud).

 

Bentuk sanksi bisa dilakukan dari yang paling ringan seperti teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan publik, hukuman cambuk, hingga hukuman mati sesuai dengan berat ringannya korupsi yang seseorang lakukan.

 

Inilah bentuk penjagaan Islam dalam rangka menjauhkan hal-hal yang Allah tidak ridhai dari kehidupan. Jika seluruh aturannya diterapkan, insyaAllah akan membawa keselamatan di dunia hingga akhirat. Maka, masihkah percaya dengan demokrasi yang sudah terbukti di dalamnya terdapat banyak aturan-aturan yang menyimpang? Sudah saatnya untuk kembali kepada aturan Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a’lam bishshawab.

(Ah/LM)

Please follow and like us:

Tentang Penulis