Oleh : Sunarti PrixtiRhq

 

 

Hidup tak seindah sinetron yang bisa dibuat narasi terlebih dahulu, akan berakhir bahagia atau duka. Akan tetapi hidup adalah sebuah kenyataan yang memang dilalui oleh raga yang masih tertutupi sukma. Suka duka, silih berganti. Tawa dan tangis nian menguji. Tak pelak jika ada keluh kesah, kadang dominan daripada syukur alhamdulillah.

 

Namaku Narasanti. Seorang ibu dengan dua anak. Single parents, begitu kata orang. Ah, entahlah. Yang sebenarnya status resmi aku adalah isteri orang. Yang entah sekarang di mana rimbanya.

 

Ahmad Katino bin Mujiono, nama yang tertera dalam buku nikahku. Seorang pengusaha yang sukses dengan nama bertengger seantaro ibukota. Namun, raganya entah di mana. Dan sayangnya buku nikah itu, raib bersama cintanya. Ah, yang begini apa masih kusebut suami?

 

Dua puluh tahun yang lalu, saat usia anakku tujuh bulan dalam kandungan, dia antar sepenuh cinta diriku bersama Riza anak pertama kami. Riza yang lucu, baru berumur satu tahun. Kugendong dengan segenap harap, bahwa pilihan ayahnya adalah pilihan terbaik. Pulang kampung dan hidup bahagia berempat dalam rumah syurga. Insyaallah.

 

Waktu berlalu. Katino tak lagi menampakkan batang hidungnya. Kini, kedua bocah yang masih pantas kusebut anaknya, masing-masing sudah menyandang gelar sarjana. Onak duri dan jalanan terjal kehidupan telah kujalani demi mereka mendapatkan ilmu.

 

Si bungsu, Reza telah menemukan tambatan hatinya. Menikah tanpa ayah di sisinya. Tangisku rasanya tidak ada guna. Saat seluruh akses menghubungkan Katino telah diblokirnya. Berkat bantuan pamong dan aparat di desaku, Reza dinikahkan oleh wali hakim. Astaghfirullah. Aku hanya mampu memohon ampun atas segala kesalahan selama ini.

 

***

Semenjak kepulangan kami ke desa, Katino mulai menjauh. Nomor Hp tidak lagi bisa kuhubungi. Lambat laun, uang bulanan tak kunjung mengisi rekeningku. Aku kalang kabut dengan kebutuhan pokok Reza dan adiknya yang telah lahir. Aryani, kuberi nama sendiri putra keduaku. Adik Reza.

 

Satu bulan, dua bulan dan satu tahun pertama, Katino mendadak menelponku. Entah kala itu nomor siapa yang dia pakai untuk menelponku.

 

“Dik, aku akan pulang. Ini semua aset di kota telah aku jual dan uangnya aku simpan di bank. Aku akan pulang, Dik. Tapi minggu ini, masih ada tugas ke luar kota selama dua hari. Dan inipun tugas terakhir. Setelah tugas ini, aku akan pulang dan tinggal di kampung bersama kamu dan anak-anak. Beruntung, perjalanan melalui kampung kita. Aku akan mampir ke rumah dahulu. Ketemu anak-anak dan tinggal beberapa jam dahulu.

 

Katino panjang lebar menjelaskan kondisi dia yang ingin pulang ke kampung dan perjalanan tugasnya yang melalui kampung halamanku.

 

“Alhamdulillah. Aku tunggu, Mas. Semoga semua tugas dimudahkan dan segera pulang,” kujawab dengan menahan bulir air mata.

 

Getar-getar hati entah kenapa menjadi berbeda. Kenapa rasaku dingin. Harap, ada memang. Tapi entah kenapa tipis sekali. Satu dua kali, Katino panjang lebar telepon yang ujung-ujungnya meminta dikirim uang. Dari alasan beli ini dan itu. Mengurus surat pindah, KTP dan sebagainya. Kenapa kali ini mau lewat, kerja terakhir, mau pindah menetap di kampung dan mau mampir? Apa lagi Katino? Ingatkah dua anakmu kini sudah dewasa?

 

***

Reza, anak pambayunku sebulan sebelum ijab qabul hari ini. Bapakku tiba-tiba kembali mengusik ketenangan hatiku.

 

Sementara Katino, tak pernah lagi muncul. Semenjak telepon terakhir dan ternyata, modus dia untuk meminta uang lagi guna perjalanan mengambil surat-surat di kota, termasuk buku nikah. Setelahnya tak lagi dia telepon atau SMS. Nomor yang dipakai telepon juga sudah tidak aktif. Bodohnya aku, tertipu lagi.

Bagaimana dengan anakku? Siapa walinya?

 

“Santi, cari suamimu, anakmu hendak menikah! Tabu, anak perempuan menikah tanpa ayah. Dikira anak haram,” kata bapakku.

 

Ini bukan perintah yang pertama. Kali ini kuberanikan diri menjawabnya, setelah sekian kali dan sekian tahun bapak selalu mendesak untuk mencari Katino, ayah dari anak-anakku.

 

“Pak, apa bapak punya cukup uang? Jika punya, aku pinjam dulu. Setelah aku ada uang, aku beri, Pak. Buat menyusul Mas Kat ke kota,” jawabku dengan rasa berat di dada.

 

Sesak rasaku. Sedang untuk makan sehari-hari, aku berusaha sehemat mungkin. Puasa hampir setiap hari kulakukan. Selain demi mendapatkan pahala, juga dengan pertimbangan beras yang jarang kupunya. Alhamdulillah, kuliah anak-anak semua mendapatkan subsidi dari jalur prestasi. Termasuk uang untuk tinggal di asrama, juga tercukupi. Hanya kadang kala perlu menambah sedikit uang saku dan kebutuhan makanku.

 

Namun, tak jarang, bapakku juga meminjam uang. Dengan alasan pinjam, ini semua pun belum pernah beliau bayar. Insyaallah, aku ikhlas ya Bapak. Tapi kali ini kenapa dadaku sesak? Padahal dulu-dulu saat bapak meminta mencari suamiku ke kota atau ke kampung halamannya, aku berusaha mengalihkan perhatian kakek dari anak-anakku ini.

 

“Yo ndak to, Nduk. Wong bapak sudah pensiun dan tidak kerja. Simbokmu dagang di pasar juga sepi,” kata Beliau tanpa merasa perkataannya semakin membuatku sesak.

 

“Bapak, selama ini bapak sering meminjam uang. Sekarang aku hutuh, Pak. Jika bapak menghendaki aku mencari ayah dari cucumu, aku butuh uang. Ibu yang kau bilang dagang sepi, tak mungkin untuk aku ajak diskusi. Pasalnya, beliau lebih sayang pada adikku. Ah, bapak, uang ibu bukan untukku. Aku tau, meski beliau ibu tiri dan sayang padaku, soal materi dari beliau, sama sekali seumur hidupku belum pernah mencicipinya,” batinku.

 

Tak kuasa kumenjawab. Hanya mampu memendam dalam Isak tangisku. Bulir bening telah deras membasahi pipi. Napasku kian terasa berat.

 

“Santi, aku malu. Masak punya cucu tak punya ayah. Sudah dua puluh tahun, wajah suamimu saja tidak pernah aku tahu. Dulu katanya mau mampir, ternyata hanya mengambil uangmu saja. Mau pulang, juga lamis saja. Bagaimana aku tak malu, Nduk, buku nikah saja, engkau tak punya. Apa benar kamu nikah sah secara agama dan negara? Jika benar, susul sana suamimu, suruh dia menikahkan anaknya!” kata bapakku kian ketus.

 

“Bapak ….”

 

“Apa? Kamu, aku sekolahkan tinggi-tinggi. Masak mencari suamimu di kota saja tidak tahu. Bukankah itu tempat kerjamu dulu? Lagian, rumah mertuamu, kamu juga tahu kan?”

 

Bagai langit runtuh, bapak mengungkit semua masa laluku.

 

“Bapak aku menikah resmi dan sah di mata hukum maupun agama. Mas Katino menahan semua surat-suratku dan buku-buku nikah. Sertifikat tanah dan rumah, termasuk kendaraan yang kesemuanya adalah milik kami, semua dia pegang. Aku tidak tahu, Pak, jika akhirnya seperti ini.”

 

Kuhamburkan tubuhku ke kaki beliau yang bersandar pada kursi kayu. Kaki kecil keriputnya aku peluk seketika. Tubuhku bergetar hebat. Seolah duniaku gelap. Namun, nyatanya tidak, aku masih merutuki kebodohanku selama ini pada Katino.

 

“Pokoke, susul saja. Aku gak mau, cucuku dinikahkan oleh hakim, kayak kamu dahulu. Bapak malu,” jawab bapak masih ketus.

 

Tersedu kuberusaha menata pernapasan, agar aku bisa menjawab tanpa amarah.

 

“Bapak, aku, aku bukan Dewi Sekartaji yang bisa menyamar sebagai Klenting Kuning. Mengembara, mencari cinta sejati. Dan menemukan Ande-ande Lumut yang ternyata adalah Raden Panji Asmorobangun, suaminya. Bapak, ini kenyataan hidupku. Bapak, mohon tidak berpikir sebagaimana halnya kisah-kisah ketoprak kesukaan bapak. Seseorang bisa pergi dan bertemu kekasih hati. Pak, sekarang mohon mengertilah aku,” kataku dengan tangis kutahan.

 

“Pak, aku tak punya sepeserpun uang buat mencari Mas Katino. Kalaupun ada, Pak, aku akan gunakan buat membiayai pernikahan Reza bulan depan,” sesenggukan berusaha kuselesaikan kalimatku.

 

Tamat.
Ngawi, 7 November 2020

Please follow and like us:

Tentang Penulis