Tersandera Adidaya, Negara Makin Tak Berdaya?

Oleh : Khya T. Yunia

(Akademi Menulis Kreatif) 

 

Lensa Media News – Kedigdayaan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya di dunia nampaknya tengah di uji. Pesaing datang dari benua Asia. Yaitu Cina, merupakan negara yang memiliki wilayah nyaris seluas AS dan berpenduduk terbanyak di dunia dan kini tengah berhadapan dengan negeri berjuluk Paman Sam.

Cina sebagai negara berhaluan komunis terbesar di dunia memang menjadi negara pesaing berat AS pasca keruntuhan Uni Soviet. Saat Rusia tak mampu lagi mengimbangi dominasi AS, Cina pun tampil. Unjuk kekuatan sebagai calon negara adidaya berikutnya.

Cina telah mulai menebar pengaruhnya tidak hanya di benua Asia tetapi hingga Eropa dan Afrika. Proyek raksasa One Belt One Road-nya pun sukses menarik negara-negara berposisi strategis dalam pengaruhnya. Investasi-investasi (baca : utang) yang terus disuntikkan ke negara-negara berkembang yang tengah membangun pun berhasil menjadikan banyak negara tunduk pada Cina akibat jeratan utang.

Bahkan pasca Cina menjadi episentrum penyebaran pandemi virus corona, situasi tak banyak berubah. Situasi yang makin memanas di Laut Cina Selatan akibat klaim Cina yang bertentangan dengan hukum internasional pun membuat AS tak tinggal diam.

Tidak hanya permasalahan di Laut Cina Selatan, perang dagang AS-Cina pun telah lama membuat kedua negara bersitegang. AS yang melihat makin banyak negara-negara di Asia yang tercengkeram oleh kekuatan Cina pun tengah berupaya dengan berbagai cara merebut dukungan demi menyeimbangkan kekuatan dengan Cina.

Salah satunya adalah agenda kunjungan pejabat negara yang rutin dilakukan. Setelah sebelumnya Menteri Pertahanan kita, Prabowo Subianto, mendapat undangan untuk berkunjung ke AS, kini giliran Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, yang melakukan kunjungan ke Indonesia. Mike dijadwalkan untuk bertemu dengan Menlu Retno Marsudi, hingga akan bertemu dengan ormas pemuda NU, GP Anshor (cnnindonesia.com, 22/10/20).

Kunjungan ini dilakukan tentu untuk meraih dukungan atas posisi AS dengan Cina. Indonesia sebagai negara yang cukup ‘akrab’ dengan negeri tirai bambu itu, dianggap sebagai koalisi yang cukup strategis. AS pun berharap dukungan Indonesia dapat berpengaruh signifikan. Diantaranya Indonesia pun sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, memiliki posisi yang sangat potensial dalam konflik di lautan tersebut.

Akan tetapi, agaknya bukan hanya persoalan pertahanan dan keamanan saja yang akan menjadi fokus kunjungan Pompeo kali ini. Hal ini terlihat dari rencana pertemuan Pompeo dengan GP Anshor. Di mana kita ketahui GP Anshor adalah ormas yang menjadi corong pemerintah dalam menyerukan kampanye anti radikalisme. Meskipun faktanya sering memicu pertentangan diantara sesama Muslim.

Menurut Menlu Retno, kedatangan Pompeo dan agendanya untuk bertemu dengan GP Anshor adalah untuk membahas mengenai dialog agama dan peradaban. (republika.co.id, 22/10/20)

Padahal membahas tentang agama, dalam hal ini khususnya agama Islam, dengan utusan dari negara kafir tentu bukan pada tempatnya. Terlebih jika nanti berpotensi memunculkan politik belah bambu yang akan memecah belah umat, dan menjauhkan umat dari kebangkitan.

Sungguh, kunjungan pejabat dari negara sekelas AS tentu bukan tanpa maksud. AS yang memang melihat Indonesia makin dekat dengan Cina tentu berharap dapat meraih dukungan dan membuat Indonesia juga dapat menjadi ‘pion’ penting dalam upaya AS merebut peran di Asia, terlebih di Asia Tenggara.

Meski Menlu Retno yakin Indonesia akan tetap dapat menjaga posisi netral dengan politik bebas aktifnya, sayangnya berbagai konflik kepentingan jelas dapat memaksa Indonesia condong ke satu pihak. Terlebih negeri ini memang tidak memiliki posisi yang kuat saat utang makin menjerat.

Dependensi negeri ini dalam bidang ekonomi jelas dapat menciptakan tendensi pada pihak yang dianggap dapat menyelamatkan posisi negeri ini. Dengan demokrasi kapitalisme yang menggerogoti negeri ini, menjadi negeri yang sepenuhnya berdaulat seakan mimpi.

Kapitalisme yang sukses menjadi jalan neoimperialisme membuat negeri ini tunduk pada hegemoni kapital. Dalam level global, ia adalah negara-negara adidaya yang mengendalikan negeri jajahan melalui para ‘boneka’-nya.

Sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim dengan jumlah terbesar di dunia, semestinya Indonesia dapat berdaulat dan sejahtera dengan menerapkan aturan Islam yang bersumber dari Yang Maha Sempurna. Selaras dengan firman Allah Swt, ” Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (TQS. Al A’raf: 96)

Dengan demikian, niscaya umat Islam tak akan menjadi umat terjajah yang lemah bahkan terpecah belah. Hanya dengan Islam umat akan meraih berkah. Bukan menjadi kacung para adidaya tetapi menjadi digdaya dan memimpin dunia.

Wallahu a’lam bishshawab. 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis