Kapitalis, Tak Manusiawi

Oleh: Uswatun Al-Magfiroh
(Mahasiswa) 

 

Lensa Media News – Jagad media massa beberapa hari ini dipenuhi dengan kabar-kabar seputar pilkada. Setelah beberapa bulan lalu sempat ditunda serta menjadi bahan gunjingan di tengah publik perihal pelaksanaannya di tengah pandemi, akhirnya pesta demokrasi tingkat kabupaten/kota ini resmi digelar. Presiden Jokowi melalui jubirnya, Fadjroel Rahman pada siaran pers di Kemendagri menyatakan bahwa pesta ini tidak akan ditunda lagi oleh rezim (Tribunnews.com, 3/10/2020).

Pemerintah menegaskan pentingnya pilkada sebagai bentuk penjagaan konstitusi rakyat. Tidak heran jika pemerintah menyesalkan adanya penundaan acara kurang lebih tiga bulan. Pesta yang sejatinya akan digelar pada awal September lalu akan terlaksana pada 9 Desember mendatang (Tribunnews.com,3/10/2020).

Beberapa pihak seperti Komnas HAM, NU dan Muhammadiyah telah melontarkan keinginan penundaan atas pesta demokrasi yang terjadi di tengah wabah, namun nyatanya pilkada tetap digelar oleh rezim. Bahkan Hairansyah selaku komisioner Komnas Ham membeberkan alasan penundaaan tersebut dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 (Tempo.co,29/9/2020).

Argumen-argumen berbasis data yang disuguhkan demi penangguhan pesta rakyat tersebut ternyata tidak membuahkan hasil. Nyatanya pihak istana serta para menterinya telah mantap menggelar pagelaran pesta rakyat meski di tengah pandemi. Padahal jika ditelaah lebih jauh, kekhawatiran rakyat hingga mereka menolak keputusan rezim, bukanlah hal sepele. Mereka sadar betul bahwa ancaman covid-19 semakin menjadi-jadi. Angka penambahan setiap hari telah menembus tiga ribu jiwa. Proses pilkada akan meniscayakan kerumunan sebab sebanyak 43% peserta pilkada memilih berkampanye secara langsung (offline). Kerumunan ini bisa menjadi media penularan covid-19 dengan massif (detik.com,2/10/2020). Fakta ini tentunya berlawanan dengan pernyataan rezim bahwa kesehatan adalah aspek utama. Namun, tetap membiarkan masyarakat berkerumun.

Sifat dan sikap kontradiktif semacam ini bukanlah hal baru. Sistem kapitalisme membentuk pola pikir kapitalistik yang menjadikan materi sebagai tujuan utama. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat akan bersandar pada pencapaian materi, meskipun aturan tersebut berseberangan dengan kepentingan rakyat. Maka tidak heran, di tengah wabah yang semakin menjadi-jadi, pemerintah justru berani menyelenggarakan pilkada, bukannya fokus pada penanganan wabah. Pemerintah dibutakan oleh kekuasaan.

Hal ini menjadi bukti nyata ketidaknormalan sistem kapitalis. Sebagai sistem buatan manusia, kapitalis begitu tidak manusiawi. Ia mengorbankan sekelompok orang demi kepentingan kelompok lainnya. Semua fakta yang tidak normal ini akan berubah tatkala kita kembali pada aturan Zat yang Maha Mengetahui, yaitu Allah SWT. Pada saat itulah, fakta buruk pengayoman masyarakat hanya menjadi mimpi.

 

Trenggalek, 3 Oktober 2020

 

[lnr/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis