Intimidasi Ulama di Negeri Muslim

Oleh : Isnawati
(Muslimah Penulis Peradaban) 

 

Lensa Media News – Ulama adalah ahli waris para nabi dan rasul yang memiliki kedudukan tinggi, “daging para ulama itu beracun,” kata pakar hadits sekaligus sejarawan dari Damaskus (Suriah), Ibnu Asyakir, seperti dikutip dari buku Tasawuf dan Ihsan. Maksudnya, siapa pun yang telah memfitnah ulama, pasti akan terkena nasib buruk, bagaikan tubuh terkena racun.

Rasulullah SAW sudah tidak ada lagi di tengah-tengah umat, para alim ulamalah yang berperan sebagai “penyambung lidah”, menerima warisan ilmu-ilmu agama. Menyakiti ahli waris sama saja dengan menyakiti yang mewariskan.

Sungguh miris , yang konon katanya negeri ini berpenduduk mayoritas muslim tapi perlakuan buruk sering dialami oleh para ulama.
Yang terbaru, Syekh Ali Jaber ditusuk ketika sedang ceramah di Lampung , Ahad, 13 September 2020. Lengan sang ulama terluka serius sehingga harus dijahit.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, angkat bicara terkait peristiwa tersebut. Mahfud menginstruksikan agar aparat kepolisian segera mengungkap kasus ini. “Aparat keamanan Lampung supaya segera mengumumkan identitas pelaku, dugaan motif tindakan dan menjamin bahwa proses hukum akan dilaksanakan secara adil dan terbuka,” kata Mahfud melalui keterangan tertulisnya.

Intimidasi, persekusi, bahkan sampai pada mengkriminalisasi ulama dengan tuduhan radikal, mengancam kebhinnekaan, persatuan dan kesatuan bukanlah hal yang baru. Upaya percobaan pembunuhan pada Shekh Ali Jaber menambah keyakinan umat, akan adanya teror pada Islam dan ajarannya.

Bahkan bisa dibenarkan ketika ada dugaan skenario politik. Sebab, investigasi yang ada sering kali menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu pelakunya “orang gila”. Pola yang sama dan terjadi berulang-ulang, kasus pun ditutup dengan alasan yang sama yaitu karena pelakunya “orang gila.”

Begitu juga dalam kasus shekh Ali Jaber, pernyataan tersebut ditolak oleh beliau, menurut keterangan Syekh Ali Jaber sendiri, pelaku penusuk dirinya bukan seorang yang memiliki gangguan jiwa pada saat kejadian penusukan di halaman Masjid Falahuddin, Bandar Lampung .

Menurut beliau, pelaku penusuknya sangat berani dan terlatih (Republika.co.id, 14/9/2020).

Ketimpangan keadilan yang dialami umat Islam baik di dalam negeri atau di luar negeri merupakan bukti, ada upaya promosi Islamophobia.

Kampanye global melalui kata antiradikalisme memang dipelopori oleh Barat sejak dua puluh tahun yang lalu. Dimunculkan pula rasa takut yang berlebihan kepada Islam. Ketaatan pada Syariat Islam bagi pemeluknya dianggap sebagai bencana bagi Barat.

Ketaatan secara kaffah berusaha dipadamkan dan diganti dengan mengkampanyekan Islam Washatiyah alias Islam moderat. Konsep ini berusaha di implementasikan mulai dari umara, ulama dan para cendekia dengan mengedepankan tasamuh (toleransi) dan pengadaan setifikasi ulama.

Tujuan dari sertifikasi tersebut agar ada standarisasi kualitas kompetensi dan visi bagi penceramah maupun profesi lainnya, padahal penilaian kelayakan itu sendiri tidak jelas dilihat dari mana, siapa yang akan memberikan penilaian dan atas landasan apa sertifikasi itu diberikan.

Kesadaran pemikiran dan perasaan umat akan kebenaran Islam semakin besar, tuntutan suatu perubahan menuju tegaknya kekuatan baru membuat pemuja kekuasaan sekuler ketakutan. Berharap pada sistem demokrasi sekuler untuk menjamin keamanan para ulama sangat tidak mungkin.

Maka, ulama tidak hanya butuh perlindungan dari teror atau ancaman fisik saja, namun lebih dari itu, butuh terciptanya sistem yang kondusif untuk mencapai kesadaran umat agar bisa berIslam secara kaffah.

Ulama utuh pula penjagaan hakiki berupa seperangkat aturan, yang berisi hukum dan sanksi yang adil dan tegas.

Dalam Islam, penerapan hukum Islam memiliki tujuan yang terintegrasi. Yakni, memelihara agama (hifdzud diin), memelihara jiwa (hifdzun nafs), memelihara keturunan (hifdzun nasl), memelihara harta (hifdzul maal) dan memelihara akal (hifdzul aql).

Seperangkat penjagaan ini hanya bisa diterapkan dalam naungan Khilafah ala min hajjin nubuwah.

” _Perumpamaan para ulama di bumi seperti bintang-bintang di langit, digunakan sebagai petunjuk dalam kegelapan di daratan dan lautan. Jika bintang-bintang itu hilang, maka dikhawatirkan orang-orang yang mencari petunjuk menjadi sesat.” (HR. Ahmad)

Wallahu a’lam bis shawab.

 

[ry/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis