Indonesia dalam Himpitan Pandemi dan Hantu Resesi
Oleh : Nurul Huzaimah
Lensa Media News – Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 jatuh hingga minus 5,32% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dibandingkan kuartal I-2020 yang tercatat 2,97%, perekonomian RI juga mencatatkan minus 4,19% (quarter-to-quarter/QtQ). Dua kontraksi beruntun secara QtQ membuat Indonesia bisa dibilang sudah masuk ke fase resesi teknikal (technical recession). Pasalnya pada kuartal I-2020 secara QtQ PDB Indonesia minus 2,41%.
Pemerintah beralasan, pertumbuhan ekonomi di kuartal I jauh dari harapan karena terdampak berbagai kebijakan terkait penanganan virus corona, khususnya WFH dan social distancing. Sementara, pertumbuhan ekonomi di kuartal II lebih buruk dari kuartal I karena dampak kebijakan PSBB (bisnis.com. 5/8/2020).
Apapun dalih yang disampaikan, data ini sangat mengecewakan. Sebab meskipun menghadapi pandemi, pemerintah sudah mengambil ruang sangat besar demi menjaga pertumbuhan ekonomi dengan berbagai skema dan regulasi.
Misal saja, dalam regulasi terkait penanganan pandemi, pemerintah memiliki kewenangan besar untuk mengelola keuangan negara selonggar-longgarnya tanpa potensi terancam pidana yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19 yang telah disahkan menjadi UU.
Kemudian terkait ancaman resesi tersebut, Pemerintah sudah mengatasi dan mengantisipasi terjadinya resesi mulai dari relaksasi PSBB, dilanjut penerapan New Normal Life hingga menggelontorkan dana besar untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Anggaran PEN yang dimaksudkan guna memulihkan ekonomi nasional mencapai Rp 695 triliun. Namun, berbagai upaya tersebut belum menunjukkan hasil. Buktinya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II jauh lebih buruk dari prediksi. Dan kondisi tersebut diprediksi akan berlanjut hingga kuartal III.
Mengabaikan Pandemi Demi Ekonomi
Sejak awal kasus Covid-19 muncul pemerintah memang tidak menyiapkan langkah-langkah preventif dan kuratif untuk mengatasinya. Bahkan pemerintah merespon dengan menerbitkan Perpres No. 82 Tahun 2020 dengan pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, ini menunjukkan bahwa prioritas pemerintah adalah pemulihan ekonomi bukannya kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat.
Langkah ini berakibat fatal dengan berimbas kepada ambruknya sistem kesehatan kita. RS over load, kelangkaan APD diikuti dengan bergugurannya tenaga kesehatan.
Tidak hanya memberikan dampak buruk bagi kesehatan, tetapi juga berpengaruh pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tak sedikit rakyat kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya, tempat kerja mereka tutup, atau tempat usahanya berhenti untuk sementara waktu.
Bahkan tidak sedikit yang akhirnya bangkrut. Terjadinya PHK menjadi hal yang tidak terelakkan. Tak ayal, hal ini berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Sementara bantuan yang diberikan pemerintah pun, selain tidak banyak menyentuh rakyat yang benar-benar membutuhkan pertimbangan penguasa juga atas pertimbangan pemulihan ekonomi.
Terlihat pada pemberian bantuan pangan dan bantuan tunai yang diberikan. Dalam pertimbangan para ekonom bantuan untuk masyarakat, terutama dalam bentuk tunai, bisa memberi dorongan signifikan bagi perekonomian.
Masih menurut mereka, porsi konsumsi rumah tangga berkontribusi cukup besar pada pertumbuhan ekonomi nasional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tidak terjun bebas lagi.
Solusi Mendasar
59 negara melockdown Indonesia. Terlihat jelas bahwa dunia internasional meragukan kemampuan pemerintah untuk mengatasi pandemi. Pemerintah lebih mengejar penyelamatan ekonomi dan justru mengabaikan keselamatan jiwa rakyat. Padahal sistem ekonomi kapitalisme yang dianut inilah yang menyebabkan krisis siklik (berulang).
Sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan secara rata-rata, setiap lima tahun terjadi krisis keuangan hebat. Selama masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, selama itu pula Indonesia akan terus mengalami resesi.
Meski ekonomi sempat sedikit naik, namun akhirnya selalu terjerumus ke jurang resesi. Meski pandemi ini berakhir, resesi ekonomi akan tetap menghantui Indonesia. Pencetusnya saja yang berbeda, tapi akhirnya resesi juga.
Maka, seharusnya pemerintah perlu memprioritaskan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat dari ancaman pandemi. Selanjutnya terkait resesi berulang maka perlu untuk mengganti sistem ekonomi yang diterapkan saat ini.
Riba dan judi harus dibersihkan. Ekonomi harus bertumpu pada ekonomi riil saja. Mata uang menggunakan standar emas dan perak yang stabil. Kepemilikan umum seperti tambang harus dikembalikan pada pemiliknya yakni rakyat. Dengan begitu ekonomi akan bertumbuh positif. Indonesia bisa terlepas dari bayang-bayang resesi.
[ln/LM]