Benci Khilafah : Buta Sejarah

Perbincangan mengenai Khilafah terus diperbincangkan. Ada yang mendukung karena memang bagian dari ajaran agama Islam dan ada pula yang membenci karena anggapan membahayakan negeri, sampai-sampai disamakan dengan PKI.

Bila menilik secara historisnya, Indonesia ternyata beberapa kali berhubungan dengan kekhilafahan pada masa lampau. Sebagai contoh, di wilayah Barus (Tapanuli Tengah) di atas 850 anak tangga di sebuah bukit, ada makam Syeikh Mahmud bin Abdullah bin Mas’ud ra yang wafat pada masa Khalifah Muawiyah. Beliau dapat sampai di sini tidak lain adalah sebagai utusan dakwah. Di Aceh pun demikian, terdapat komplek makam Tengku Di Bitay di desa Bitai atau biasa disebut “Kampung Turki”. Di situ para prajurit dari Turki Utsmani dimakamkan. Sejarah mencatat saat itu Kesultanan Aceh (Sultan Alauddin Riayat Syah) mengirim surat kepada Sultan Sulaiman Al Qanuni untuk meminta bantuan menghadapi penjajah Portugis. Maka setelah itu Khalifah mengirim 15 kapal perang kecil dan 2 kapal perang besar beserta pasukan militer dan segala perlengkapan lengkap amunisi perang, seperti peluru meriam, bubuk mesiu, 300 kapak dan 300 sekop, dan peralatan lainnya. Di dalam kapal terdapat pula kapten kapal, ahli senjata, prajurit, awak kapal.

Tidak sampai situ saja, Turki Utsmani juga mengajarkan kepada penduduk Aceh untuk menciptakan meriam. Hingga akhirnya usai melaksanakan kewajibannya sebagian dari utusan Utsmani menetap di Aceh dan sebagian yang lainnya kembali ke Turki. Demikianlah secuplik sejarah hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Kekhilafahan. Tidak ada misi keburukan untuk negeri ini, tetapi justru semuanya adalah kebaikan. Kita tentu sangat berhutang budi pada negara Khilafah.

Masih banyak fakta lainnya mengenai sejarah hubungan keduanya yang dapat disibak. Lantas mengapa harus benci Khilafah jika sejarahnya semua bukti yang ada justru kemaslahatan?

 

Zahbia Dina

 

[hw/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis