Polemik Dibalik RUU HIP
Oleh: Lilieh Solihah
Lensa Media News – Draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memuat ketentuan mengenai demokrasi ekonomi Pancasila yang di antaranya mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada seorang atau kelompok tertentu. Di sisi lain, draf yang telah digagas dan disetujui DPR ini juga mencantumkan poin yang membolehkan negara berutang demi memperkuat perekonomian nasional.
Poin di atas disebutkan dalam pasal 17 RUU HIP. Pasal 17 poin b menyebutkan bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi pancasila menghindari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan. Sedangkan pasal 17 poin j menyebutkan bahwa negara boleh berutang dengan tujuan memperkuat perekonomian nasional (CNN Indonesia, Senin 15/06/2020).
Dengan demikian, RUU ini, di satu sisi menetapkan peran negara yang harus lebih dominan dalam menjaga ekonomi rakyat namun juga mendorong kebijakan utang luar negeri dengan alasan memperkuat ekonomi. Maka alih-alih diharapkan menjadi pedoman bagi penyelenggaraan negara dalam menyusun kebijakan pembangunan nasional di berbagai bidang, RUU ini justru menuai banyak polemik. Mulai dari pancasila sebagai ideologi, apa saja yang bertentangan dengan ideologi, juga bagaimana mewujudkan integrasi, hingga polemik soal implementasi di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Wajar jika RUU HIP mengundang penolakan berbagai kalangan umat. Sebab ditengarai menjadi celah masuk dan berkembangnya komunisme.
Pengamat Politik, Siti Zuhro mengatakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah memunculkan perdebatan dan resistensi yang meluas. Bahkan juga telah menuai penolakan dari berbagai kalangan.
Menurut Siti Zuhro, penolakan tersebut bukan hanya dari kalangan akademisi dan mahasiswa, tapi juga purnawirawan TNI dan aktivis. Bahkan Fraksi Partai Demokrat pun mencabut diri untuk tidak ikut dalam pembahasan RUU HIP di Baleg (Republika, Ahad (14/6).
Karenanya, kata Zuhro, hanya menjadikan keadilan sosial sebagai pokok Pancasila telah mendistorsi makna Pancasila yang terdiri dari lima pokok (dasar), dan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima dari sila-sila Pancasila. Jika mau mengambil satu sila, kata dia, seharusnya cukup merujuk Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ada dalam dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Zuhro beranggapan ada kekhawatiran yang sangat beralasan bahwa HIP merupakan agenda menghidupkan kembali ajaran komunisme, terutama karena sama sekali tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966. Sementara seluruh Ketetapan MPR yang lainnya dirujuk sebagai dasar penyusunan RI dan hanya menjadikan Keadilan Sosial sebagai esensi pokok dari Pancasila.
“RUU ini bisa dipahami sebagai RUU yang kental nuansa politiknya. Sebagai arena testing the water untuk menguji apakah ada resistensi atau tidak dari masyarakat,” ujarnya (Republika, 14/6/2020).
MUI, NU dan Muhammadiyah berpendapat, RUU ini tak pantas disahkan menjadi undang-undang karena diduga akan menjadikan rezim sebagai rezim represif. Sedangkan GP Ansor melihat banyaknya perdebatan dari RUU HIP karena terkesan sebagai upaya terselubung eks PKI dan kelompoknya untuk balas dendam sejarah yang menimpa mereka. Untuk itu, dibutuhkan diskusi dan masukan dari berbagai kalangan sebelum dimulainya pembahasan RUU HIP (Republika.co.id, 13/6).
Dalam draf RUU HIP pasal 7 terdapat frasa yang kontroversial yakni “ketuhanan yang berkebudayaan” frasa ini menimbulkan banyak tafsiran yang bisa saja menyesatkan, benarkah Tuhan memiliki kebudayaan, sedangkan budaya itu adalah produk buatan manusia dan manusia adalah mahkluk ciptaan Allah.
Maka adanya upaya untuk menjadikan Allah adalah layaknya manusia yang bisa menjalankan suatu budaya tentu ini frasa yang menyesatkan menurut akidah Islam. Allah bukanlah makhluk yang serba terbatas, Allah tidak serupa dengan manusia. Jika RUU HIP ini lolos tentu akan semakin tambah berkembangnya kapitalisme dan liberalisme yang makin mengakar di sektor-sektor strategis umat.
Islam dan khilafah menghadirkan solusi, karena Islam sebagai ideologi yang sangat komprehensif dan terintegrasi menjalankan penyelenggaraan negara mulai aspek filosofi hingga sistem. Islam memberikan solusi bagi permasalahan umat saat ini termasuk dengan adanya RUU HIP.
Sistem Islam sebagai sistem yang terintegrasi dapat mewujudkan keutuhan, keadlian, dan kesejahteraan. Dalam Islam rancangan undang-undang hanya dibuat oleh Allah Sang Pencipta, bukan dibuat oleh manusia seperti di sistem kapitalis. Aturan negara pun harus bersumber dari Al-Quran dan hadits. Wajib hukumnya bagi kaum muslimin untuk menolak draf RUU HIP.
[lnr/LM]