Mencla-Mencle Kebijakan Iuran BPJS Kesehatan
Oleh: Sholihah
(Institut Kajian Politik dan Perempuan)
Lensa Media News – Kesehatan merupakan perkara yang sangat vital dalam kehidupan manusia, penyokong terlaksananya aktivitas manusia. Sebagaimana kebutuhan primer lainnya, pemenuhan kesehatan tidak boleh diabaikan. Dalam perspektif bernegara, kesehatan masyarakat merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat. Lantas, bagaimana kabar terbaru kebijakan kesehatan di negeri +62?
Presiden Joko Widodo memutuskan untuk kembali mengerek iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut ditandatangani Jokowi 5 Mei lalu (Cnnindonesia.com, 13/05/2020).
Kronologi Naik Turun Iuran BPJS Kesehatan
Kado awal tahun 2020 dari pemerintah untuk rakyat adalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen untuk peserta mandiri per 1 Januari 2020. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut sontak menuai pro-kontra dari publik. Apalah daya, masyarakat dengan kebijakan ini akhirnya manut begitu saja. Dengan berbagai alasan diungkapkan oleh pemerintah untuk membenarkan kebijakan.
Sampai pada akhirnya kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang berlaku mulai bulan April 2020. Akan tetapi peserta yang sudah terlanjur membayar periode Januari-Maret 2020, uangnya tidak dikembalikan dan akan dikompensasikan pada bulan berikutnya, ini berdasarkan keputusan dari Presiden Jokowi.
Pada tanggal 05 Mei 2020, Presiden Jokowi menandatangani Beleid tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan diberlakukan mulai 1 Juli 2020. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini nyaris 2 kali lipat dari iuran saat ini. Untuk lebih jelas, nominal naik turun iuran BPJS pada tahun 2019-2020 bisa dilihat pada rincian berikut ini:
Kebijakan
Kelas | 1 | 2 | 3 |
Tahun 2019 | Rp 80.000 | Rp 51.000 | Rp 25.500 |
Januari-Maret 2020 | Rp 160.000 | Rp 110.000 | Rp 42.500 |
April – Juni 2020 | Rp 80.000 | Rp 51.000 | Rp 25.500 |
Juli 2020 | Rp 150.000 | Rp 100.000 | Rp 25.500 |
Berdasarkan pasal 34 ayat 1 poin b disebutkan iuran untuk kelas III pada tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35.000 (Cnnindonesia.com, 13/05/2020).
Mencla-Mencle Kebijakan Iuran BPJS
Dengan melihat kebijakan dari pemerintah terkait naik-turunnya iuran BPJS Kesehatan yang seolah kebijakan mencla-mencle. Masyarakat sebagai korban kebijakan. Dalam waktu setahun saja berubah beberapa kali. Terlebih saat ini masyarakat sedang menghadapi wabah Covid-19, untuk memenuhi kebutuhan perut saja susah, ditambah lagi dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Masyarakat harus menelan kenyataan pahit di depan mata mereka. Kebijakan itu semakin membuat mereka sengsara, dimana saat gelombang PHK terjadi besar-besaran dan para karyawan banyak yang dirumahkan, mereka harus menanggung biaya kesehatan yang semakin mencekik.
Logika Terbalik
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah sengaja menaikkan lagi iuran BPJS Kesehatan demi menjaga keberlanjutan (sustainability) lembaga tersebut. Dengan kata lain, keuangan BPJS Kesehatan diharapkan lebih stabil dengan iuran peserta (Cnnindonesia.com, 13/05/2020).
Alasan yang disampaikan pemerintah merupakan “logika terbalik”. Masyarakat yang menghidupi keberlangsungan lembaga milik pemerintah dengan memperbanyak jumlah iuran. Ini “logika terbalik”, pemerintah-lah yang harus menjamin kesehatan masyarakat dan menstabilkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dari wabah Covid-19. Sederhananya, masyarakat yang harusnya ditolong oleh pemerintah, bukan pemerintah yang ditolong oleh masyarakat.
Kebijakan Kesehatan yang Manusiawi
Kebijakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah wabah, merupakan kebijakan yang tak manusiawi. Seolah tak ada empati. Masyarakat lagi-lagi disakiti dengan kebijakan ini. Negara yang menjadi harapan satu-satunya untuk menjaga mereka dalam masa sulit menghadapi wabah, justru tampil sebagai mafia pemalak.
Himpitan hidup ini harusnya segara diakhiri dengan kebijakan yang manusiawi. Kebijakan yang mempertimbangkan aspek sosiologis dan ideologis. Pertimbangan aspek sosiologis, harusnya setiap kebijakan mempertimbangkan tentang kondisi masyarakat, baik kondisi psikis mereka maupun kondisi ekonomi mereka. Setiap kebijakan harusnya menciptakan rasa aman dan nyaman, dengan berada di garda terdepan untuk mengatasi wabah, menjadikan kondisi psikis mereka baik dan jauh dari rasa cemas. Begitu pula dengan kondisi ekonomi, jika negara tidak mampu menjamin kehidupan mereka masa-masa melewati wabah, setidaknya negara tidak membebani mereka.
Pertimbangan aspek ideologis, harusnya setiap kebijakan bertumpu pada ideologi yang diyakini. Mengingat Indonesia adalah negeri muslim, sebagian besar penduduknya beragama Islam, sudah sepantasnya jika setiap kebijakan mengacu pada Alquran dan As-Sunnah. Non muslim tidak perlu takut dan khawatir, Alquran dan As-Sunnah tidak mendiskriminasi aturan umum antara muslim dan non muslim. Aturan di dalamnya membawa rahmat bagi seluruh alam.
Aturan yang menyengsarakan rakyat tentu dilarang dalam aturan Islam. Fungsi penguasa adalah sebagai ro’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Jika saat ini fungsi itu telah hilang, kita wajib untuk mengembalikannya, dan hilangnya fungsi ro’in karena penguasa telah tunduk kepada aturan korporasi. Dan satu-satunya jalan untuk mengembalikan fungsi ro’in adalah mengubah sistem kapitalis-demokrasi menjadi sistem Islam. Dengan demikian penguasa yang ada di dalam sistem Islam tak akan lagi tunduk terhadap koporasi, akan tetapi tunduk kepada Ilahi dan mengurus urusan rakyat dengan sepenuh hati.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]