Oligarki di Balik Penanganan Covid-19

Oleh: Isnawati

 

 

LensaMediaNews— Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari musibah Covid-19 terkait kebijakan yang lahir dari landasan demokrasi, khususnya pada tata kelola negara dalam berbangsa.

 

Sejumlah kebijakan dan aturan yang diterbitkan dalam penanganan pandemi virus Corona bersyarat dengan berbagai kepentingan. Salah satunya kebijakan prakerja yang menuai kritik dari berbagai pihak. Reaksi antusias mengingat pelatihan kartu prakerja beranggaran mewah hingga memberikan distorsi hebat kepada nalar khalayak. Mulai dari pertanyaan karakteristik penerima, tarif pelatihan yang berlebihan hingga dugaan adanya konflik kepentingan pribadi segelintir pihak.

 

Pemerintah menggelontorkan 20 triliun untuk kartu prakerja dengan target 5,6 juta orang. Setiap orang akan mendapat 3,55 juta yang terdiri atas biaya pelatihan 1 juta, insentif 60 ribu perbulan selama 4 bulan. Dana survei sebesar 150 ribu, jadi uang tunai yang mereka kantongi hanya 2,55 juta. Tempo.co (16/4/2020)

 

Banyak kalangan menilai skema pemberian kartu prakerja seperti ini tidak bermanfaat bagi pekerja namun lebih menguntungkan pengelola jasanya. Sebenarnya yang dibutuhkan penganggur saat pandemi seperti saat ini adalah bantuan tunai bukan pelatihan. Penganggur itu adalah orang yang memiliki ketrampilan dan kemampuan, yang mereka butuhkan adalah lowongan kerja baru yang sesuai dengan keahliannya. Jadi cara mengatasi pengangguran dengan memulihkan perekonomian sehingga mereka bisa bekerja kembali.

 

Mengharapkan lowongan kerja baru bagaikan panggang jauh dari api, di tengah pandemi yang sudah menghimpit saja, masih tega-teganya berkonspirasi dengan kebijakan. Anggaran untuk hadapi Covid-19 hari ini banyak menguntungkan penguasa dan oligarki. Bagaimana bisa tunjangan guru disunat sementara pengusaha ruang guru.com yang merupakan staf khusus presiden mendapat proyek triliunan dari dana prakerja.

 

Pangkasan demi pangkasan di berbagai sektor menjadi solusi negeri ini termasuk tunjangan guru hingga 3,3 triliun. Padahal di masa pandemi seperti ini nasib guru juga dipertaruhkan di tengah harga bahan pokok yang mencekik. Kebijakan ini memperlihatkan menguatnya oligarki, masalahnya tidak sekedar pada nilai fantastis dari sebuah pelatihan online semata tapi sudah merusak tatanan berbangsa. Sampai-sampai ada sebuah karikatur, berikan aku sepuluh pemuda, akan aku guncang kas negara.

 

Basis Kapitalisme liberal inilah yang menghadirkan generasi-generasi penguasa rasa pengusaha, takzim pada partai politik yang mengusung di kabinetnya didukung finansial telah melahirkan staf khusus walaupun sejatinya tidak perlu.

 

Semakin banyak birokrasi dalam negara yang menganut demokrasi kapitalisme semakin masif embrio-embrio baru KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang lahir. Politik dalam demokrasi adalah mencapai kekuasaan dengan standar manfaat, dalam kerjanya tentu tidak akan pernah peduli kesempatan itu dalam kesempitan seperti dalam penanganan Covid-19.

 

Kesibukan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan menghasilkan gagap dalam semua masalah berbangsa termasuk menangani wabah. Sense of crisis (kepekaan menghadapi krisis) tidak tertanam dalam diri pemegang kekuasaan, munculnya kartu prakerja dan Perpu tentang keuangan sebagai buktinya.

 

Pasal 27 Perpu mengukuhkan bahwa lembaga keuangan berpotensi kebal hukum lantaran tidak bisa dituntut, baik secara pidana maupun perdata. Jika alasannya selama melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan ini sangat tidak relevan yang dihadapi adalah manusia dengan segala kelemahan dan keserakahannya.

 

Solusi yang ditawarkan demokrasi blunder, tidak jelas berbeda dengan Islam, kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan Syariat dan amar makruf nahi Mungkar. Tidak akan ada obesitas dan akomodator kepentingan yang menyebabkan struktur menjadi bengkak dengan melahirkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Struktur pemerintahan dan administrasi dalam Daulah Islam dibentuk sesuai kebutuhan, rinci, ramping, efisien dan berkoordinasi dalam bekerja.

 

Tupoksi pekerjaan mereka kuasai dengan landasan takwa, amanah, memiliki kapabilitas yang tinggi dan lembut terhadap rakyatnya. Prinsip bernegara dalam Khilafah harus diwujudkan kembali, ganti sistem akan menghasilkan berbagai solusi problematika. Negara harus keluar dari bayang-bayang oligarki menuju kesejahteraan, keadilan, keamanan bagi seluruh rakyat.

 

Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam bisswab. [el/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis