Perempuan, Tumbal Kapitalisme Menuntaskan Kemiskinan

Oleh: Hasni Tagili, M. Pd.
(Praktisi Pendidikan Konawe)

 

LensaMediaNews – Beberapa tahun belakangan ini, wacana kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan kian menggejala. Pada seminar bertema “Voyage to Indonesia’s Seminar on Women’s Participation for Economic Inclusiveness” tahun 2018 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan.

Beberapa lembaga internasional bahkan melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan.

Sementara itu, di acara yang sama, Menteri PPPA, Yohana Yembise mengatakan kondisi perempuan Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan. Banyak upaya yang telah dilakukan, tapi data menunjukkan bahwa posisi dan status perempuan masih menghadapi hambatan dibandingkan laki-laki di berbagai bidang pembangunan.

Hal ini dibuktikan dengan data Indeks Pembangunan Gender (GDI) Indonesia adalah 92,6 sedangkan GDI dunia rata-rata adalah 93,8. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menempati posisi ke-enam dari semua negara ASEAN. Meskipun Indeks Pemberdayaan Gender sejak 2010 – 2016 terus meningkat setiap tahunnya, fakta kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih ada.

Sehingga, untuk mengurangi kesenjangan gender, terutama di bidang ekonomi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengembangkan kebijakan Industri Rumahan (IR) yang dilakukan oleh kelompok perempuan, informal, dan memiliki modal kecil. Skala kelompok usaha ini masih kurang mendapat perhatian, meskipun kelompok usaha ini perlu diberdayakan karena dampaknya yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

 

Tumbal Kapitalisme

Salah satu pernyataan Mc Kinsey menyebutkan bahwa perempuan dalam kumparan kapitalisme menjadi mesin kapital yang mencabut fitrah mereka. Pada akhirnya menghasilkan krisis dalam kehidupan keluarga, kerusakan masyarakat, dan kehancuran bangsa. Pernyataan ini mengibaratkan bahwa tanpa peningkatan pemberdayaan perempuan, dunia akan mengalami kerugian sebesar US $ 4,5 triliun dalam PDB (Produk Domestik Bruto) tahunan pada tahun 2025 mendatang.

Benarlah kiranya jika peran strategis perempuan dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di era digital, menjadi hal serius yang harus dikritisi. Atas nama pemberdayaan, perempuan dipupuk sebagai pabrik penghasil uang. Tercerabut fitrah keibuan dan pengurus rumahnya secara pelan-pelan. Dituntut bekerja dengan dalih kesetaraan gender yang telah dikampayekan secara global. Indonesia pun turut pusaran.

Sadar atau tidak, sesungguhnya ini adalah bentuk eksploitasi terhadap perempuan dalam bidang ekonomi. Sebab, dalam kacamata kapitalisme, kuantitas dan kualitas selalu dinilai dalam bentuk materi saja. Akhirnya, ketika wanita terlalu fokus dalam sektor publik, tak jarang membuat mereka mengabaikan sektor domestik.

Pusaran kapitalisme juga melempar Indonesia ke dalam sebuah prediksi. Disebutkan bahwa ekonomi digital akan menguat pada tahun 2020. Bahkan, pada tahun 2050, peluang ekonomi digital akan mencapai nilai USD 150 milyar per tahun.

Tak hanya posisi potensial, ternyata ada tantangan besar yang harus dihadapi. Pemerintah harus memperkecil bias gender dalam pemanfaatan sistem digital, khususnya partisipasi perempuan dalam industri fintech (financial and technology). Maka dari sekarang, berbagai upaya akan dan terus digulirkan oleh pemerintah demi terwujudnya tujuan global yaitu mewujudkan kesetaraan gender, kebijakan yang pro-perempuan, kesempatan yang sama, membantu meningkatkan kemampuan perempuan, dan menyediakan lapangan kerja yang mendukung bagi perempuan.

 

Kembali pada Fitrah

Islam telah menetapkan dua peran penting seorang perempuan yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Dalam Muqaddimah Dustur Nizham al-Ijtima’i dinyatakan bahwa hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah ibu bagi anak-anaknya dan pengelola rumah bagi suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.

Dalam Islam, perempuan dilarang dijadikan sebagai mesin atau komoditas ekonomi. Tidak pula patut mengeksploitasi fisik, finansial, apalagi kehormatan mereka atas nama pemberdayaan ekonomi. Sebab, Islam memuliakan perempuan dan menjaganya dari segala sesuatu yang buruk dengan menetapkan rambu-rambu bagi kehidupan khusus dan kehidupan umum wanita.

Adapun bekerja sesuai bidang keilmuan wanita, hal tersebut dibolehkan. Dengan catatan, si perempuan terbebas dari tekanan ekonomi dan sosial, serta peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga untuk keluarganya.

Dengan demikian, patutlah kiranya disadari bahwa pemberdayaan perempuan dalam kumparan kapitalisme bersifat eksploitasi. Terlebih dalam era ekonomi digital, maka peran perempuan dibidik sebagai target sentral dan global mengatasi problem kemiskinan.

Wallahu a’lam bisshawab.

 

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis