Karir Perempuan dalam Kaca Mata Islam

Oleh: Keni Rahayu, S. Pd

 

LensaMediaNews – Perempuan hari ini lekat dengan kehinaan. Munculnya gagasan-gagasan kesetaraan, tidak menyurutkan penghinaan terhadap perempuan. Jutaan perempuan turun ke jalan menyuarakan kesetaraan, tak akan melahirkan apapun terkait dengan kemuliaan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Sepanjang 2019, Komnas mencatat terjadi 2.341 kasus atau naik 65 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus (Tempo, 6/3/2020).

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat kenaikan sebesar 300 persen dalam kasus kekerasan terhadap perempuan lewat dunia siber yang dilaporkan melalui Komnas Perempuan. Kenaikan tersebut cukup signifikan dari semula 97 kasus pada 2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019 (Kompas, 6/3/2020).

Kita perlu mengkritisi sejarah, bagaimana muasal lahirnya perayaan Hari Perempuan Internasional. Penetapan tanggal perayaan tersebut bermula pada 1908, ketika 15.000 perempuan melakukan aksi demo di New York, AS, menyuarakan hak mereka tentang peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja (CNN, 9/3/2020).

Kenyataan terbalik di berbagai negara pelopor kesetaraan gender, pada dasarnya memang merendahkan gender perempuan. Mereka menemui fakta pahit, bahwa perempuan dipandang rendah. Sehingga wajar apabila mereka menuntut kesetaraan yang tidak pernah mereka dapati.

Berbeda jauh dengan Islam. Di dalam Islam, perempuan dan laki-laki sama di hadapan Allah tidak ada yang jauh lebih mulia.

Dalam sistem Khilafah, kaum perempuan dapat menjadi anggota partai politik. Menyuarakan pandangan mereka di media independen. Menjadi jurnalis atau membentuk outlet media tanpa perlu lisensi. Kaum perempuan memiliki hak untuk menjadi wakil terpilih dari Majelis Wilayah atau Majelis Ummat yang memberikan masukan dan meminta pertanggungjawaban dari gubernur, Amil (setingkat lebih rendah dari gubernur) dan Khalifah dalam semua urusan negara (Muslimahnews, 6/4/2020).

Sayangnya, sering kali kaum feminis menyerang syariat Islam. Aturan Allah SWT dituduh pilih kasih. Meninggikan laki-laki dan merendahkan perempuan. Di antaranya yang disorot seperti pembagian waris yang lebih banyak untuk laki-laki, bolehnya poligami dan larangan poliandri, wajibnya istri izin suami namun suami tidak perlu ijin istri, adalah beberapa hal yang sering diserang kaum feminis untuk mereduksi ajaran Islam.

Faktanya, laki-laki dan perempuan memiliki spesifikasi berbeda baik dari segi perasaan maupun fisiknya. Sehingga, Allah menata dengan cermat pengaturan berbeda antara laki dan perempuan. Pembedaan syariat terhadap keduanya bukan disebabkan karena patriarkisme, melainkan karena demikianlah fitrahnya sebagaimana yang Allah maksud dengan menciptakan laki-laki dan perempuan.

Menyetarakan perempuan dengan konteks memberikan perempuan kebebasan sebebas-bebasnya adalah sebuah masalah baru. Alih-alih memberikan solusi, perempuan yang berlaku bebas tanpa memperhatikan agama dan norma akan menjadikan sederajatnya sama dengan hewan. Karena akal tak dijadikan tolak ukur, hati tak dijadikan pertimbangan. Ia bebas menuruti hawa nafsunya dengan dalih memperjuangkan kesetaraan.

Lihat saja ketika perempuan mengejar karir duniawi dan meninggalkan kewajiban ukhrawinya. Ia bekerja di kantor sedang anaknya dididik oleh nenek/kakek bahkan gadget. Bukan keberkahan, melainkankan bencana. Anak haus kasih sayang seorang ibu, dan seringnya bertindak tantrum ketika bertemu sang ibu, sebagai ganti waktunya yang hilang karena sang ibu bekerja.

Dalam Islam, perempuan bukan tidak boleh bekerja, boleh tapi niatnya yang harus berbeda. Niat adalah pangkal amal. Ketika niat bekerja sebatas materi atau eksistensi, itulah yang ia dapat. Dan harus rela kehilangan banyak keberkahan karena meninggalkan kewajibannya di rumah sebagai konsekwensinya.

Hal ini jelas berbeda dengan perempuan berkarir di luar rumah dalam rangka dakwah, atau ia bekerja demi membangun masyarakat. Kewajibannya sebagai ibu pasti tetap dipertimbangkan. Bagaimana mungkin ia berlelah-lelah membangun masyarakat madani sementara anaknya di rumah harap-harap cemas menanti?

Faktanya pun akan berbeda. Perempuan yang bekerja membangun masyarakat, seringnya tak masalah jika memang harus mengajak sang anak. Karena kemampuan sang ibu sangat dibutuhkan oleh umat, maka bagaimana lagi jika memang sang anak harus membersamai?

Ini jelas bertolak belakang dengan perempuan karir duniawi di kantor. Tak mungkin anaknya bisa ikut masuk ke kantor “membantu” ibunya bekerja. Kalau tak mau ikut apa kata bos, keluar saja. Masih banyak yang bisa menggantikan. Begitulah hukum tak tertulisnya.

Dalam kacamata Islam menjadi perempuan bukan hukuman, menjadi perempuan bukan laknat. Menjadi perempuan adalah ketetapan dari Allah yang wajib kita imani dengan cara taat pada-Nya, serta menjalani hidup sesuai Aturan-Nya.

Wallahua’lam bish showab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis