Percaya Diri dengan Hijab Syar’i

Oleh: Arin RM, S.Si

 

 

LensaMediaNews— Level percaya diri pada setiap orang berbeda-beda. Biasanya level tersebut tergantung pada tingkat pemikiran tentang standar baik dan hebat yang dimiliki. Bagi yang memandang wah kehidupan dunia, maka bergelimangnya harta adalah modal eksis di kehidupan sehari-hari. Bagi yang mengagungkan prestasi, maka deretan piala dan penghargaan adalah andalan untuk tampil di khalayak ramai. Dan bagi pengikut fashion terkini, kepemilikan model pakaian up to date adalah andalan untuk tampil percaya diri.

 

Hanya saja tidak demikian standarnya bagi mereka yang bertaqwa. Satu-satunya standar adalah keridaan Allah semata. Sehingga mereka menempatkan percaya diri sebagai bentuk kepatuhan pada setiap aturan Ilahi. Percaya diri tetap ada selama tidak melanggar apa yang ditetapkan. Dan khusus dalam hal pakaian, kepercayaan diri muncul bila apa yang dikenakan memenuhi kualifikasi yang ditetapkan, syari.

 

Bagi muslimah, kriteria pakaian syari adalah harga mati. Tak peduli bagaimana pandangan mata, asalkan Allah rida pasti dipakai sehari-hari. Sebab mereka meyakini bahwa apa yang ditetapkan baginya adalah bentuk kasih sayang Allah, penjagaan, sekaligus penghormatan atasnya yang sesuai fitrah. Mereka memahami bahwa saat keluar rumah ada kewajiban menutup auratnya (seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan) dengan pakaian syari yang meliputi: jilbab dan kerudung. Jilbâb, jamaknya jalâbîb menurut umumnya orang Arab adalah baju kurung panjang, sejenis jubah (A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Cet. XXV. (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 199.), bukan sekedar kerudung. “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS. Al Ahzab: 59).

 

Memang ada berbagai penafsiran terkait makna jilbab ini, ada yang memaknainya sebagai ridâ yang dipakai di atas kerudung, ada yang memaknainya sebagai al-milhafah (sejenis jubah/mantel), namun Imam al Qurthubi setelah menjelaskan berbagai pendapat tersebut, beliau menyatakan “Yang tepat, bahwasanya jilbab itu adalah pakaian yang menutupi seluruh badan.” (Al Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1964), juz 14, hlm. 243.) sedangkan kerudung, dalam Alqur’an disebut sebagai khimar yakni kain yang menutup kepala hingga dada. “Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka.” (TQS an-Nûr: 31) . Imam al-Qurthubi mengatakan “al khumur: jamak dari khimar yaitu apa-apa yang dengannya menutupi kepala.”

 

Dengan dua pakain tersebut sebagai lapisan pakaian terluar saat keluar rumah atau ada tamu bukan mahram, dilengkapi penutup kaki sehingga saat melangkah aurat bagian kaki tidak terlihat, maka level percaya diri muslimah layak ada dijajaran atas. Layak di atas karena telah sesuai mau sang Pencipta hidup, bukan sang pembuat mode kekinian. Ditambah lagi dengan tidak tabaruj (berdandan berlebihan hingga menarik perhatian) maka semakin lengkap modal percaya diri yang dimiliki. Muslimah bisa beraktivitas di luar dengan leluasa, dalam rangka menebar manfaat bagi sesama, menjalankan amar makruf nahi munkar yang diwajibkan.

 

Hanya saja, mindset percaya diri dengan pakaian syari ini terus digempur dengan arus liberalisasi. Bukan hanya ajaran Islam yang berusaha dijauhkan, namun dari sisi pakaian pun berusaha dikacaukan. Dibilang tidak wajib menutupi aurat, dibilang tidak harus syari, harus ikut tren busana kekinian biar trendi, bahkan semakin berani dengan mengatakan lepaskan saja penutupnya selama satu hari. Semuanya jelas mengarah pada tidak relanya muslimah menjadi taat. Sebab mereka tahu bahwa ketaatan muslimah adalah kunci kebaikan bagi generasi dan masyarakat.

 

Walhasil setiap upaya ditempuh untuk menjadikan muslimah sebatas patuh saat di ranah ibadah, khas ala sekular. Tentu hal ini tidak bisa didiamkan. Harus tetap ada upaya untuk saling menguatkan dalam ketaatan, untuk saling mengingatkan agar tidak terpesona pada tawaran kemaksiatan. Dan upaya seperti ini akan lebih baik jika tidak hanya sebatas dilakukan oleh individu per individu semata, melainkan kompak dikerjakan oleh kelompok masyarakat yang diperkuat pemangku kebijakan. [El/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis