Oleh: Kunthi Mandasari

(Pemerhati Generasi, Member AMK)

 

LensaMediaNews – Memasuki tahun baru 2020, Indonesia disapa dengan banjir dan longsor di sejumlah wilayahnya. Mulai dari Jabodetabek, Lebak Banten, Grobogan hingga Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ada puluhan orang meninggal, ratusan rumah yang dihuni jutaan jiwa tenggelam dan mengharuskan sebagian penghuninya mengungsi di tengah dinginnya cuaca serta derasnya hujan.

Banjir yang kali ini melanda ibu kota menyebabkan ratusan wilayahnya harus mengalami pemadaman listrik, transportasi pun ikut lumpuh. Bahkan bandara internasional Halim Perdana Kusuma turut tergenang dan membatalkan sejumlah penerbangan.

Meskipun ibu kota menjadi langganan banjir setiap tahunnya. Namun, banjir yang kali ini menimpa daerah Jabodetabek kali ini dinilai para ahli semakin parah dan luas. Selain itu, banjir yang diantaranya disertai dengan longsor juga menimpa daerah yang sebelumnya bukan daerah banjir. Seperti Lebak-Banten, beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor serta disejumlah wilayah di kepulauan di Indonesia.

Bencana banjir yang melanda, erat kaitannya dengan manusia dan aturan yang diterapkan. Yaitu kesadaran setiap manusia dalam menjaga kelestarian lingkungannya. Serta bagaimana aturan itu tercipta dan regulasi dalam penerapannya.

Banyak Universitas yang menyumbang lulusan orang berpendidikan. Memiliki ilmu terkait permasalahan banjir dan solusinya. Penelitian serta diskusi ilmiah juga sering dilakukan. Namun, banyaknya jumlah orang terpelajar dan kajian yang dilakukan tak mampu mengurai permasalahan.

Fokus pencegahan banjir yang seharusnya mampu meminimalisir terjadinya bencana justru terabaikan. Lajunya pembangunan mengabaikan kelestarian lingkungan. Keberadaan kanal, situ, bendungan maupun daerah resapan tak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Naturalisasi sungai tak bisa berjalan optimal, ketika pinggiran sungai justru dijadikan pemukiman.

Sejumlah Situ dan daerah hijau yang beralih fungsi sebagai real estate. Laju deforestasi yang belum terbendung. Hanya mengalami penurunan yang akhirnya tetap akan menghabiskan lahan hutan. Meskipun tahun telah berganti, banjir masih saja menjadi ancaman.

Bukankah seharusnya ada evaluasi paska banjir dan diikuti perbaikan? Namun, kenapa musibah banjir masih terus saja berulang? Ataukah evaluasi yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka? Bukankah selalu ada sebab dan akibat dari sebuah peristiwa dan tidak ada yang terjadi begitu saja.

Jika kita mau bermuhasabah, adanya banjir tak lepas dari kesalahan kita yang mengabaikan aturan Pencipta. Dan lebih memilih aturan buatan manusia yang memiliki keterbatasan, kelemahan dan juga nafsu untuk berkuasa. Sehingga akibatnya, banjir akan senantiasa terus mengintai dan meluas ke berbagai wilayah.

Selama keserakahan masih diutamakan. Dengan melakukan pembangunan ala kapitalistik yang abai terhadap lingkungan dan keselamatan. Ditopang dengan hukum yang masih bisa diperjualbelikan. Kita adalah umat terbaik yang dijadikan sebagai khalifah di atas muka bumi ini. Sebuah kepercayaan yang seharusnya dijaga dan wujudkan.

Namun, kenapa gelar sebagai umat terbaik justru jauh dari kenyataan? Karena abainya kita terhadap panduan hidup yang telah diwariskan, yakni Alquran dan Al-hadis. Maka sudah seharusnya musibah yang melanda menjadi sebuah cambuk. Agar kita segera kembali kepada aturan sang Pencipta dan menerapkannya secara keseluruhan. Agar rahmat dan keberkahan segera tercurah. Islam rahmatan lil ‘alamiin menjadi sebuah kenyataan.

Wallahu ‘alam bishshawab.

 

[ln/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis