Mengupas Musabab Banjir dan Solusinya
Oleh : Tety Kurniawati
(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)
LensaMediaNews – Sejumlah wilayah di lima wilayah kota Jakarta terendam banjir sejak Rabu (1/1/2020). Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, banjir Jakarta dan sekitarnya disebabkan curah hujan ekstrem.
Akibat banjir, tercatat 31.323 warga yang berasal dari 158 kelurahan, mengungsi karena rumahnya terendam banjir. Banjir tak hanya merendam permukiman warga, tetapi juga jalan-jalan protokol Jakarta. Sejumlah transportasi umum mulai dari transjakarta, KRL, hingga penerbangan di bandara Halim Perdanakusuma juga terpaksa dibatalkan akibat rendaman banjir. Banjir Jakarta dan sekitarnya juga menelan korban jiwa. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 16 korban meninggal hingga Kamis ini (Kompas.com 2/1/2020).
Jika banjir hanya terjadi sebab curah hujan yang tinggi. Niscaya banjir tidak akan menjadi masalah berulang, yang kian parah dari tahun ke tahun. Ini artinya, banjir tidak hanya terjadi karena faktor alam ataupun kesalahan manusia dalam memperlakukan alam yang bersifat teknis semata namun lebih bersifat sistemik.
Sebagai negeri pengemban ideologi kapitalisme. Pertumbuhan ekonomi senantiasa menjadi tolak ukur utama. Imbasnya, pembangunan negara dijalankan ala tata kelola perusahaan yang harus berorientasi keuntungan. Guna menghasilkan untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Kapitalisme mengabaikan satu fundamental alam, yakni keberlangsungan lingkungan.
Spirit kapitalisme yang kebablasan dalam mengeruk keuntungan dan kekayaan. Menghalalkan diabaikannya hajat hidup publik seperti tersedianya ruang terbuka hijau, ruang terbuka biru, daerah resapan air dan lain sebagainya. Pembukaan lahan baru juga kerap tak lagi memperhatikan AMDAL. Namun justru ditentukan oleh kesepakatan ekonomi dibelakang layar. Wajar jika kemudian tata kota berantakan. Karena mekanisme pasar sepenuhnya menentukan arah pembangunan. Kerusakan lingkungan lambat laun tak lagi terhindarkan.
Salah satu fakta tak terbantahkan diungkap oleh Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center Urban Studies yang menyatakan bahwa Banjir di awal 2020 kemarin, mau tak mau tak bisa dilepaskan dengan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Biru yang semakin hari semakin digerus oleh para pengembang.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta setiap dekadenya semakin menguning. Jika melihat peta RTRW tahun 1980, DKI Jakarta masih cukup banyak lahan hijau. Namun pada peta RTRW 1999-2005, kawasan hijau makin berkurang dan berganti dengan kuning alias untuk permukiman. Pada peta RTRW 2010-2030 nyaris semua kawasan di Jakarta menjadi kuning.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan kondisi negara yang menerapkan sistem Islam. Untuk mengatasi banjir, negara memiliki kebijakan canggih nan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika dan pasca banjir.
Untuk antipasi banjir negara membangun bendungan-bendungan, memetakan daerah yang rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman disekitarnya. Pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase, dan sebagainya. Untuk mengurangi penumpukan volume air dan mengalihkan aliran air. Membangun sumur-sumur resapan dikawasan tertentu.
Selain hal tersebut, negara membentuk badan khusus penanggulangan banjir, penetapan daerah-daerah tertentu untuk cagar alam. Sosialisasi tentang pentingnya kebersihan dan kewajiban memelihara lingkungan. Memberlakukan persyaratan ketat terkait ijin pendirian bangunan. Membuat kebijakan terkait pembukaan lahan baru, serta penyediaan daerah resapan air.
Penanganan pasca banjir pun sangat diperhatikan oleh negara. Korban banjir memiliki hak untuk mendapat penanganan yang cepat dengan mengoptimalkan keterlibatan warga yang dekat dengan lokasi bencana. Seperti penyediaan tenda, makanan, pengobatan dan pakaian serta mengerahkan para alim ulama guna menyampaikan tausiyah bagi korban bencana banjir. Agar mereka mampu mengambil pelajaran atas peristiwa yang terjadi. Sekaligus memberi motivasi agar lebih sabar, ikhlas dan tawakal.
Maka ketika negeri ini serius ingin menanggulangi banjir. Tiada ikhtiar terbaik selain menjadikan musibah banjir kali ini sebagai momentum taubatan nasional. Hijrah dari pandangan hidup kapitalisme menuju adopsi sistem Islam. Sistem yang mampu menghadirkan keberkahan dan menjadi solusi atas setiap permasalahan kehidupan.
Wallahu a’lam biashowab.
[ry/LM]