Merdeka Belajar= Kebebasan dalam Pendidikan?
Oleh : Eni Mutamaroh Imami
S.Si (Pendidik, Anggota Revowriter Jombang)
LensaMediaNews – Mendengar kata “merdeka” tentu melegakan, membahagiakan. Frasa tersebut identik dengan upaya lepas, bebas dari tekanan, penjajahan. Maka kata “merdeka belajar” arahnya bisa dibaca melepaskan dari berbagai tekanan dalam dunia pendidikan. Tekanan banyaknya tugas administrasi bagi para guru. Tekanan ujian-ujian pagi para siswa. Intinya butuh ada perombakan dalam dunia pendidikan.
Menyikapi hal itu dan setelah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, Mendikbud Nadiem Makarim menginisiasi program “Merdeka belajar”. Program tersebut menyangkut 4 hal pokok, yakni USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional), UN (Ujian Nasional), RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).
Langkah tersebut patut diapresiasi. Semoga mampu mengurai sengkarut masalah pendidikan di negeri ini. Namun juga patut dicermati, pasalnya makna merdeka belajar yang dimaksudkan itu bagaimana?
Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir. Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid, demikian kata Nadiem dalam Diskusi Standard Nasional Pendidikan, di Hotel Century Park, Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2019 (nasional.tempo.com, 13/12/2019).
Jika selama ini guru masih banyak terikat dengan aturan-aturan administrasi dalam pembelajaran, maka dengan merdeka berfikir itu guru diberikan kesempatan lebih bebas untuk berinovasi, mandiri, dan kreatif dalam proses pembelajaran. Seperti pembuatan RPP yang terkesan kejar tayang dalam menyelesaikan materi ajar dan tebalnya minta ampun.
Maka Nadiem menyederhanakan bisa hanya selembar saja. Anak-anak yang selama ini seakan tertekan karena tuntutan nilai dalam ujian-ujian sekolah hendak ditiadakan, dengan memberikan kesempatan mereka belajar kreatif sendiri. Belajar akan lebih menyenangkan dan guru hanya sebagai fasilitator saja. Sesuatu yang dibebaskan atas kehendak manusia memang menyenangkan. Namun apakah demikian esensi dari pendidikan?
Sungguh mengkhawatirkan merdeka belajar dapat mengarah pada kebebasan dalam pendidikan. Utamanya kebebasan dalam berfikir. Padahal banyak konsep-konsep kehidupan yang terikat dengan kebenaran Sang Pencipta kehidupan. Jika pemikiran dibiarkan bebas maka manusia bisa salah arah.
Belajar adalah proses meningkatkan taraf berfikir sehingga terwujud tingkah laku yang benar. Dan makna kebenaran ini standarnya mabni (tetap). Belajar bukan sekadar transfer informasi dari guru ke siswa. Dan tidak berarti guru bebas melakukan metode atau strategi pembelajaran asalkan siswa mudah memahami materi yang diajarkan.
Proses pembelajaran harus mengacu pada prosedur tertentu yang mampu membangun intelektual keilmuan, keterampilan dalam menyelesaikan masalah kehidupan, dan menjadikan insan yang bertakwa kepada Allah Swt.
Dalam Islam guru adalah sumber ilmu. Tentu menjadi guru harus memiliki kemampuan dan keilmuan.
Guru tidak bebas menerjemahkan kurikulum pendidikan. Sebab, mereka harus menyandarkan setiap ilmunya pada aturan Islam. Materi pembelajaran berdasarkan akidah Islam. Metode pembelajaran menggunakan talaqiyyan fikriyan, dimana siswa didorong untuk mengamalkan ilmu yang diterima dari guru, mengindera fakta secara rinci, dan mampu memperesentasikan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Jika dibebaskan bisa bahaya. Apalagi jika guru tak memiliki landasan jelas, konsep pemikiran bebas bisa mengarah pada hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Seperti pemikiran liberal, sekuler, bahkan sosialis.
Dalam Islam, negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan terbaik untuk rakyat. Sistem pendidikan Islam mengatur paradigma pendidikan, tujuan, metode mewujudkan tujuan pendidikan hingga tata kelola yang berdasarkan akidah dan syariat Islam. Sehingga tak dibiarkan bebas begitu saja.
Namun, saat ini mustahil sistem pendidikan Islam dapat diterapkan. Karena sistem pemerintahan negara juga tidak menjadikan Islam sebagai landasan bernegara.
Pemisahan antara agama dengan kehidupan yang dijadikan pilar negara saat ini. Maka wajarlah pendidikan yang diberlakukan juga demikian. Hasilnya tak banyak lahir intelektual yang bertakwa yang siap menjadi pemimpin bangsa.
Wallahu ‘alam bi a showab.
[ry/LM]