Perubahan Semu dalam Demokrasi

Oleh : Tri Nuryani

 

LensaMediaNews— “Pecah telor pimpinan DPR perempuan setelah 70 tahun. Semoga bisa menjadi inspirasi,” kata Puan Maharani di Ruangan Fraksi PDIP, Lantai 7 Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, pada Selasa, 1 Oktober 2019. (tempo.co, 01/10/2019)

 

Puan mengatakan ia juga sudah mundur dari jabatan sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menko PMK RI). Pelantikannya, di tengah posisi Megawati sebagai pemegang kekuasaan dan Jokowi sebagai petugas partai menyiratkan bahwa konsep Trias Politika dalam sistem demokrasi bohong adanya.

 

Apakah dengan terpilihnya Puan bisa memberikan perubahan? Dalam demokrasi meletakkan rakyat atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlemen) sebagai sumber hukum. Sementara manusia lemah, beragam akal, akhlak dan kebiasaannya. Mereka tidak mengetahui apa yang baik buat mereka apalagi mengetahui apa yang terbaik untuk selain mereka. Karena itu, masyarakat yang menjadikan rakyat sebagai pedoman hukum dan UU-nya tidak ada yang dihasilkannya kecuali kerusakan, runtuhnya moral dan rusaknya kehidupan sosial.

 

Sistem ini hanya sekedar slogan yang menipu rakyat. Penguasa yang sesungguhnya adalah kepala negara, sedangkan rakyat tidak memiliki wewenang. Demokrasi yang disebut-sebut itu hanyalah yang sesuai dengan kemauan penguasa. Jika tidak sesuai, maka akan dinjak-injak kaki mereka. Kenyataan pemalsuan pemilu dan dibungkamnya kebebasan orang-orang yang hendak menyuarakan kebenaran adalah kenyataan yang diketahui semua pihak.

 

Banyak orang yang mengira bahwa yang dimaksud demokrasi adalah kebebasan. Ini adalah dugaan salah. Meskipun kebebasan merupakan salah satu produk demokrasi. Bahkan kebebasan yang sering digembar-gemborkan sejumlah negara tersebut pun tidak bersifat mutlak. Di saat sistem mereka membolehkan penistaan terhadap Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan Alquran dengan dalih kebebasan berpendapat, di sisi lain terdapat larangan kebebasan membicarakan sejumlah masalah. Jika mereka adalah para penyeru kebebasan, mengapa mereka tidak membiarkan rakyat di negeri-negeri Islam memilih jalan dan agama mereka?

 

Dengan sistem ini, dikeluarkan aturan bolehnya aborsi, perkawinan sesama jenis, bunga bank, digugurkannya hukum-hukum syariat, dibolehkannya zina dan khamr. Bahkan dengan sistem ini, Islam dan para penganutnya yang harus diperangi.

 

Semakin jelaslah bahwa landasan hukum dalam sistem demokrasi tidak merujuk kepada Allah Ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya. Patokannya berdasar pada kesepakatan mayoritas, itu yang akan menjadi UU yang wajib dipegang masyarakat walaupun bertentangan dengan fitrah, agama dan akal. Dan disadari atau tidak, ini menjadi salah satu bentuk kesyirikan modern dalam hal ketaatan dan ketundukan dalam menetapkan UU, karena dengan demikian dia menganulir kewenangan Allah Ta’ala yang bersifat mutlak dalam menentukan UU dan menjadikannya sebagai hak makhluk.

 

Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam Al qur’an, bahwa penetap hukum hanyalah Dia semata, Dialah sebaik-baik yang menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya dalam menetapkan hukum dan tidak ada seorang pun yang lebih baik hukumnya dari-Nya.

 

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40).

 

Juga dalam Surat Al Maidah 50 Allah menegaskan “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

 

Allah Azza wa Jallah merupakan Sang Pencipta makhluk, Dia mengetahui apa yang terbaik bagi mereka dan hukum apa yang layak untuk mereka. Maka wajib bagi kaum muslimin merasa mulia dengan agamanya dan percaya bahwa hukum-hukum Tuhan mereka bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka, serta berlepas diri dari sistem yang bertentangan dengan syariat Allah. Tidak ada pilihan lain bagi umat islam saat ini untuk mengantarkan pada perubahan yang hakiki, selain kembali pada sistem kehidupan Islam yang tidak hanya mengganti jabatan dan kekuasaannya semata. Wallahu a’lam bis showab. (RA/WuD)

Please follow and like us:

Tentang Penulis