Menakar Kaliber Pemimpin Hasil Manuver Buzzer

Oleh: Tety Kurniawati

(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)

 

LensaMediaNews – Gegap gempita pemilu 2019 memang telah berlalu. Namun istilah buzzer justru kian viral. Terlebih setelah baru-baru ini Universitas Oxford mengeluarkan laporan bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Laporan ini dikerjakan Bradshaw dan Philip N Howard.

Laporan tersebut membeberkan bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai, menyerang lawan politik dan menyebarkan informasi untuk memecah belah publik.

Para buzzer menurut penelitian tersebut dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar berkisar Rp 1 juta sampai Rp 50 juta. (faktakini.net 4/10/19).

Fakta tersebut kiranya menjadi bukti. Jika pesta politik negeri tercinta beberapa waktu lalupun tak lepas dari manuver cantik para buzzer. Mereka menggaet simpati, menggiring opini masyarakat dan tak segan menyebarkan hoax atas nama marketing politik. Menyulap tokoh yang notabene biasa saja menjadi berkilau mempesona. Tak terkecuali mengangkat tokoh yang diusung, apapun kondisi dan caranya.

Ibarat membeli kucing dalam karung. Publik dipaksa harus menelan kekecewaan. Karena bisa dipastikan terjadi kekeliruan dalam memilih pemimpin yang diharapkan. Mimpi hadirnya perubahan hanya tinggal angan. Mengira mendapat produk unggulan. Tapi ternyata hanya produk penuh polesan rekayasa dan pencitraan.

Wajar jika kemudian kesejahteraan tak kunjung rakyat rasakan. Justru masalah kian hari kian bertubi datang. Kekuasaan nyatanya dibangun atas dasar kebohongan.

Inilah wajah asli penerapan sistem demokrasi. Menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan tak tabu dilakukan. Manusia dengan akalnya yang terbatas, merasa berhak membuat aturan. Terakomodirnya kepentingan dan keuntungan senantiasa jadi tujuan. Maka profesi buzzer bayaran hadir memenuhi kebutuhan. Mempabrikasi kebohongan tuk kemudian diviralkan. Hingga akhirnya menutupi kebenaran.

Sudah menjadi tabiatnya, jika satu kebohongan akan diikuti oleh kebohongan yang lainnya. Alhasil, pemimpin yang lahir atas kebohongan. Akan senantiasa tergoda untuk terus melanggengkan kebohongannya. Menebar janji palsu dan tipuan akhirnya jadi konsekuensi tak terhindarkan. Dapat dipastikan kepercayaan dan cinta rakyat akan memudar seiring masa jabatan berjalan. Tinggallah kerugian yang nyata. Tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat nantinya.

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan solutif terkait memilih pemimpin. Dalam sistem politik Islam syarat menjadi pemimpin terdiri atas dua hal, Pertama syarat in’iqad yakni Islam, Laki-laki, baliq berakal, adil (tidak fasik), merdeka, dan mampu. Kedua, syarat afdaliyyah (keutamaan) di antaranya seorang mujtahid, ahli di bidang kemiliteran dan sebagainya. Syarat afdaliyyah ini tidak wajib tapi lebih utama jika dimiliki oleh pemimpin.

Dilain sisi, umat atas dasar dorongan keimanan akan memilih pemimpin berdasarkan persyaratan tersebut. Mereka menyadari jika perkara memilih pemimpin bukan sekadar ritual pencoblosan. Tapi menentukan terpilihnya pemimpin yang amanah dan mampu menghadirkan kesuksesan dunia akhirat bagi yang dipimpinnya. Maka ketaatan pemimpin terhadap Allah dan Rasul-Nya menjadi prasyarat mutlak yang tak mungkin ditawar.

Pemimpin seperti ini akan benar-benar berjuang demi kemaslahatan rakyat. Yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Alquran dan As-Sunnah. Maka menjadi keniscayaan bagi rakyat untuk mendengar dan menaatinya. Sebagaimana firman Allah, ” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri diantara kalian” (QS. AN Nisa : 59).

Wallahu a’lam bish showab.

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis