Revisi Berujung Kontroversi

Oleh: Sartinah*

 

 

LensaMediaNews— Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karya anak negeri segera hadir menggantikan KUHP warisan Belanda yang selama ini dijadikan rujukan dalam menyelesaikan problem hukum di tengah masyarakat. Tak dinyana, RKUHP yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi masyarakat di negeri ini, ternyata menuai banyak kontroversi. Meski ada yang mendukung, tetapi tak sedikit pula yang menentang.

 

Dilansir oleh medcom.id, 22 September 2019, pakar hukum pidana Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, mendukung Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Suparji menilai sejumlah aturan baru dalam RKUHP lebih baik ketimbang KUHP warisan Belanda. Dia mencatat tiga aturan baru yang masuk dalam Rancangan KUHP. Aturan itu menjadi kontroversi tapi tidak salah masuk dalam KUHP.

 

Menurut Suparji, aturan baru yang mengundang kontroversi tersebut, yakni: Pertama, Pasal 217, 218, 219, 220 tentang Penghinaan pada Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, Pasal 417 tentang Perzinaan. Pasal perzinaan mengatur pidana bagi pelaku ‘kumpul kebo’ atau hidup bersama di luar pernikahan. Ketiga, Pasal 251 tentang Aborsi.

 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda yang telah diadopsi selama puluhan tahun di negeri dengan mayoritas muslim ini, dianggap tidak lagi sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sehingga muncul alternatif untuk merevisi undang-undang tersebut melalui tangan-tangan anak bangsa. Karena itu, hadirnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karya anak negeri diharapkan mampu menyelesaikan problem hukum yang terus mendera dan tak kunjung selesai.

 

Sayangnya, harapan itu mustahil bisa terwujud dalam kehidupan, bila sistem yang ditegakkan masih berasal dari akal manusia semata. Terlebih, hukum saat ini tidak mampu berdiri tegak di tengah-tengah, tetapi lebih condong pada yang berkuasa dan berharta. Sehingga, bagi rakyat jelata kata adil menjadi barang langka yang sukar diperoleh. Belum lagi, standar benar dan salah atau manfaat dan mudarat hanya berdasarkan tafsir penguasa semata.

 

Sejatinya, hukum apa pun yang diterapkan di tengah-tengah manusia tetapi merujuk pada akal manusia yang lemah, niscaya tidak akan mampu menyelesaikan problematika yang terjadi di masyarakat. Terlebih hukum tersebut ditegakkan di tengah sistem sekuler yang menihilkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Dimana agama hanya diperkenankan untuk dibicarakan di sudut-sudut sempit tempat ibadah, kajian-kajian, serta hanya menjadi hubungan privat antara manusia dengan Tuhannya.

 

Di sinilah letak kesalahan manusia. Akal yang lemah dan terbatas dianggapnya lebih mampu menyelesaikan problematika manusia ketimbang hukum Allah Swt yang terbukti keadilan dan kebenarannya. Mereka melegalisasi undang-undang berlandaskan pada akal dan kepentingannya semata. Sehingga undang-undang yang dihasilkan pun tidak tersentuh aroma agama, bahkan sering kali berbenturan dengan rambu-rambu syariat.

 

Alhasil, undang-undang yang dibuat bukan membawa kemaslahatan, tetapi menimbulkan kemudaratan. Alih-alih membawa kebaikan, hukum buatan manusia justru menimbulkan polemik baru yang tidak kunjung berkesudahan. Semua terjadi karena satu sebab, yakni diterapkannya sistem demokrasi sekuler yang menjauhkan peran agama dari urusan dunia. Dan memberikan hak mutlak pada manusia untuk membuat aturan. Karena itu, mustahil menuntaskan problem hukum yang membelit negeri ini, baik menggunakan KUHP warisan Belanda ataupun RKUHP karya anak negeri yang tidak lama lagi akan disahkan.

 

Sesungguhnya permasalahan hukum di negeri ini bukan mustahil untuk diselesaikan. Hanya saja, kondisi yang terlanjur karut-marut tersebut hanya akan tuntas jika menggunakan solusi yang jelas-jelas bersumber dari wahyu Allah SWT, yakni syariat Islam. Sebab, syariat Islam merupakan sebaik-baik solusi bagi seluruh problematika manusia, baik yang berkaitan dengan hukum, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya.

 

Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, syariatnya memberi cahaya dan keberkahan bagi seluruh manusia, serta keadilan hukumnya telah terbukti nyata tanpa diskriminasi. Hal ini dapat disaksikan dalam sejarah peradaban Islam yang cemerlang sekitar 1300 tahun yang lalu, dimana Islam menjadi dasar negara dan syariatnya dijadikan sebagai solusi hakiki baik terkait hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan dirinya maupun dengan sesamanya.

 

Alquran yang mulia merupakan supremasi hukum syariat, memiliki solusi absolut, dan tetap up to date sepanjang masa. Ayat-ayatnya yang agung telah terbukti mampu menyelesaikan problematika umat termasuk problem hukum yang terjadi. Terlebih, fungsi hukum Islam sebagai jawabir dan jawazir telah terbukti mampu meminimalisasi berbagai tindak kejahatan.

 

Saatnya kembali pada Islam dan seluruh syariatnya sebagai bentuk ketaatan pada Allah SWT, agar keberkahan melingkupi seluruh bumi termasuk negeri ini. Allah SWT berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS. al–An’am: 57)
Wallahu a’lam bishshawab. [WuD]

 

*Pegiat Opini, Member Akademi Menulis Kreatif 

Please follow and like us:

Tentang Penulis