Negeri Sekuler Abai Terhadap Kehalalan Obat

Oleh : Ifa Mufida*

 

Dunia kesehatan dengan segala keilmuannya sejatinya terus berkembang. Proses diagnosa dan terapi juga terus mengalami perkembangan seiring dengan banyaknya penelitian demi penelitian. Di sisi lain, kesehatan termasuk kebutuhan asasi seseorang secara khusus dan masyarakat secara umum yang harus terpenuhi dan dijamin. Namun, faktanya banyak kondisi yang menjadikan jaminan kesehatan tidak bisa optimal, bahkan cenderung apa adanya. Salah satu contoh adalah berkenaan dengan jaminan kehalalan obat yang beberapa waktu lalu kembali dipertanyakan.

 

Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Prof Sukoso, mengungkap bahwa 98 persen obat di Indonesia belum pasti halalnya. Hal ini yang mendorong BPJPH untuk menjalin kerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Tujuannya, tentu agar masyarakat yang beragama Islam bisa mendapat kepastian halal dalam mengkonsumsi obat-obatan (republika.co.id / 26 Juni 2019). Padahal pemberian obat-obatan ini sudah menjadi rutinitas dalam proses terapi di Indonesia. Peredaran obat-obatan tadi pun sudah mendapatkan perijinan dari pihak yang berwenang. Namun, ternyata kondisinya tak jauh berbeda dengan problematika vaksin yang seringkali terjadi kontroversi karena belum ada jaminan kehalalan. Bahkan kontroversi tersebut seringkali muncul baru setelah ada protes dari masyarakat. Seolah, pemerintah tidak mengupayakan jaminan kehalalannya sedari awal sebelum adanya peluncuran program. Terlebih pelaksanaannya di Indonesia, yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Sungguh Ironis!

 

Saling lempar tanggung jawab pun seolah menjadi fenomena lumrah di negeri ini. Begitu juga dengan kasus kehalalan obat ini. Ketika ada tuntutan kepada kementerian kesehatan tentang kehalalan obat, maka dikatakan oleh Kemenkes bahwa hal ini bukan tanggung jawab instansi mereka. Menurut instansi ini, terkait total hampir 98 persen obat-obatan yang masih belum bisa dipastikan kehalalannya, ia kembali mengacu pada ketentuan PP No. 31 tahun 2019, dimana disebutkan sertifikasi halal untuk obat-obatan tidak dilakukan oleh Kemenkes RI, melainkan oleh lembaga yang berwenang, yakni diatur oleh peraturan kementrian agama (republika.co.id).

 

Mengenai polemik ini, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengatakan hingga kini belum ada kewajiban untuk sertifikasi halal bagi obat. Bahkan menurut Kepala Sub Direktorat Pegawasan Produk BPOM, Moriana Hutabarat, pertimbangannya lebih kepada mengutamakan kepentingan kesehatan dari aspek halal. Menurut beliau juga, bahwa rata-rata negara Islam di dunia, belum mewajibkan halal untuk obat (jawapos.com). BPOM juga menyerahkan kepada pemerintah berkenaan sertifikasi halal untuk obat dan vaksin.

 

Sangat tragis, negeri mayoritas muslim terus dipaksakan untuk menggunakan obat-obatan yang tak terjamin halal dengan alasan darurat. Beginilah wajah negara yang sekuler, yang tidak menjadikan syariat Allah SWT sebagai sumber tata kehidupan. Standar kehalalan barang konsumsi salah satunya obat sebagai kebutuhan mendasar masyarakat justru tidak menjadi prioritas perhatian pemerintah. Bahkan pengaturannya harus diawali munculnya desakan dari masyarakat.

 

Hal ini sangat berbeda dengan pengaturan syariat Islam. Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab untuk mengelola urusan-urusan rakyat. Nabi SAW bersabda: “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” [Bukhari & Muslim].

 

Salah satu kebutuhan dasar masyarakat adalah bahwa negara harus menyediakan layanan kesehatan. Ketika Rasulullah SAW sebagai kepala negara di Madinah diberikan seorang dokter sebagai hadiah, lalu beliau tugaskan dokter tersebut untuk melayani umat Islam. Kenyataan bahwa Rasulullah SAW menerima hadiah dan dia tidak menggunakannya, bahkan dia menugaskan dokter itu kepada kaum muslimin. Hal ini adalah bukti bahwa kesehatan adalah salah satu kebutuhan umat Islam. Karena itu, negara berkewajiban untuk membelanjakan anggaran negara pada penyediaan sistem kesehatan gratis untuk semua orang.

 

Negara Islam juga bertanggung jawab untuk menyediakan sarana kesehatan yang memadai dan berkualitas untuk rakyat. Selain itu, juga berkewajiban menjamin kehalalan barang konsumsi yang diproduksi dan beredar di tengah masyarakat. Begitupula untuk obat-obatan, negara islam sebagai negara mandiri tak boleh tergantung pada industri farmasi negara asing yang tak mengenal halal-haram. Negara akan mensupport penuh penelitian farmasi agar dihasilkan obat-obatan yang tak lagi menggunakan ataupun terkontaminasi bahan haram dan syubhat. Dengan kebijakan tersebut, masyarakat akan merasakan ketenangan dan ketentraman. Maka hanya dengan mewujudkan penerapan syariat islam dalam bingkai negara saja, jaminan kehalalan obat akan terwujud. Wallahu A’lam bi showab. [RA/WuD]

*Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial

Please follow and like us:

Tentang Penulis