Seputar Fiqih Lebaran
Oleh Ustadz M. Shiddiq Al Jawi
Pertanyaan :
Tak lama lagi kaum Muslim akan meninggalkan Ramadan dan memasuki bulan Syawal. Setelah sebulan lamanya berpuasa, tibalah mereka merayakan Idul Fitri—Lebaran. Apa saja hukum-hukum di seputar Idul Fitri dan bagaimana kaum Muslim menjalani bulan-bulan berikutnya pasca Ramadan?
”Sunnah Idul Fitri ada tiga; yaitu berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala), makan sebelum keluar rumah, dan mandi.”
Jawaban :
Banyak di antara umat Islam yang menganggap Idul Fitri sekadar makan-makan, hura-hura. Padahal banyak persoalan hukum terkait Idul Fitri atau lebaran ini. Maka, seharusnya sebagai seorang Muslim mengetahui persoalan fiqih seputar masalah tersebut.
Fiqih Lebaran di sini maksudnya adalah sejumlah hukum syara’ yang terkait dengan hari raya Idul Fitri, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah shalat Idul Fitri. Berikut ini di antara hukum-hukum syara’ tersebut :
(1). Diwajibkan secara fardu kifayah untuk melakukan rukyatul hilal bulan Syawal pada saat maghrib malam ke-30 bulan Ramadan. Hal ini karena menurut ulama empat mazhab rukyatul hilal inilah yang merupakan sebab syar’i bagi pelaksanaan shalat Idul Fitri, termasuk hukum-hukum lain yang terkait, seperti zakat fitrah dan takbiran pada malam Idul Fitri. Sabda Rasulullah Saw, ”Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawwal]…” (HR Bukharino 1810; Muslim no 1080).
(2). Diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah pada malam Idul Fitri bagi yang mempunyai kelebihan makanan pada malam itu, meski dibolehkan menyegerakan mengeluarkan zakat fitrah pada bulan Ramadan. Zakat fitrah berupa makanan pokok dengan takaran satu sha’(sekitar 2,5 kg), bukan berupa uang. Demikian menurut jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (AlMudawwanah alKubra, 1/392; AlMajmu’, 6/112; AlMughni, 7/295).
Zakat fitrah dibagikan kepada siapa? Ada dua pendapat; pertama, kepada seluruh mustahiq zakat dari delapan golongan. Ini pendapat jumhur ulama empat mazhab. Kedua, khusus kepada kaum miskin saja. Ini pendapat sebagian ulama, seperti Ibnul Qayyim. Yang rajih, pendapat jumhur. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/387).
(3). Disunahkan takbiran sejak malam Idul Fitri, baik di rumah atau di jalan menuju lapangan/masjid, hingga keluarnya imam untuk mengimami salat Idul Fitri. Dalam lafal takbir ini dibolehkan bertakbir dua kali “allahu akbar allahu akbar dst” dan boleh juga tiga kali “allahu akbar allahu akbar allahu akbar dst”. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 237). Dalil bertakbir dua kali adalah atsar dari Ibnu Mas’ud ra, dia bertakbir, “Allahu akbar allahu akbar, laa ilaaha illallahu wallaahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamd.” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/168).
Namun dari Ibnu Mas’ud ra juga, bahwa beliau bertakbir sebanyak tiga kali (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 2/165). Kedua sanad hadis tersebut sama-sama sahih, sebagaimana penjelasan Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Irwa`ul Ghalil juz 3 hlm. 125. Jadi berlebihan kiranya kalau ada yang membid’ahkan lafal takbir sebanyak tiga kali. Imam Shan’ani berkata, ”Terdapat tatacara takbir yang bermacam-macam dari para imam. Ini menunjukkan adanya kelonggaran (tawassu’ah) dalam urusan ini.” (Subulus Salam, 3/247).
(4). Disunahkan mandi pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, juga makan sebelum keluar rumah, dan berjalan menuju lapangan tempat salat (mushala). Dari Sa’id bin Musayyab, dia berkata, ”Sunnah Idul Fitri ada tiga; yaitu berjalan menuju lapangan tempat shalat (mushala), makan sebelum keluar rumah, dan mandi.” Kata Syeikh Nashiruddin Al Albani dalamIrwa`ul Ghalil, 3/104, “Sanad riwayat tersebut shahih.” (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 12).
(5). Disunahkan memakai wewangian dan bersiwak, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas mengenai adab salat Jumat, ”Jika ada wewangian, maka gunakanlah wewangian dan juga bersiwaklah.” (HR Ibnu Majah, 1/326). Kata Imam Ibnu Qudamah, “Jika ini disyariatkan untuk shalat Jumat, maka untuk shalat Ied tentu lebih utama.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257).
(6). Disunahkan memakai pakaian terbaik pada Idul Fitri. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa Imam Ibnu Abi Dunya dan Imam Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad sahih bahwa Ibnu Umar ra memakai pakaiannya yang terbaik pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/439).
(7). Disunahkan pergi ke lapangan tempat salat (mushala) melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain. Karena demikianlah apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. (HR Bukhari no 986).
(8).Disunahkan secara sunnah mu`akkadah untuk salat Idul Fitri. Inilah pendapat mazhab Syafi’i yang menurut kami paling kuat mengenai hukum salat Idul Fitri/Adha di antara tiga pendapat ulama yang ada; pertama, hukumnya fardu kifayah. Ini pendapat Imam Ahmad. Kedua, hukumnya fardu ‘ain. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan satu versi riwayat dari pendapat Imam Ahmad. Ketiga, hukumnya sunah, tidak wajib. Ini pendapat Imam Malik dan mayoritas para sahabat Imam Syafi’i. (Sa’id Al Qahthani, Shalatul ‘Iedain, hlm. 7).
(9). Disunahkan shalat Idul Fitri di lapangan (mushala), namun boleh juga mengerjakannya di masjid meski yang lebih afdhal adalah di lapangan. Hal ini karena Rasulullah SAW melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di mushala, yakni tempat lapang yang jaraknya seribu hasta dari pintu masjid Nabawi di Madinah. (HR Bukhari no 956, Muslim no 889, dari Abu Said Al Khudri ra).
(10). Tidak disyariatkan salat apa pun sebelum dan sesudah salat Idul Fitri. Dalilnya, “hadis Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Saw keluar pada Idul Fitri dan melakukan salat Idul Fitri dua rakaat dan beliau tidak melakukan salat sebelum dan sesudahnya. Nabi SAW saat itu bersama Bilal.” (HR Bukhari no 989; Muslim no 884).
(11). Tidak disyariatkan azan dan juga iqamah dalam shalat Idul Fitri/Adha. Dalilnya hadis dari Jabir bin Samurah ra, dia berkata. ”Saya pernah shalat Idul Fitri dan Idul Adha bersama Nabi Saw tak hanya sekali atau dua kali, dan shalat tersebut tanpa adzan dan juga tanpa iqamah.” (HR Muslim, no 887).
(12). Disyariatkan kutbah setelah selesainya salat Idul Fitri. Para ulama berbeda pendapat apakah kutbahnya itu dua kali kutbah seperti kutbah Jumat ataukah hanya sekali kutbah. Fuqaha empat mazhab sepakat kutbah Ied itu dua kutbah seperti kutbah Jumat. Bahkan Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Hazm menegaskan dalam masalah ini sesungguhnya para fuqaha tak berbeda pendapat. (Abdurrahman Jazairi, Al Fiqh ‘Ala Al Mazahib Al Arba’ah, 1/238).
Namun sebagian fuqaha berpendapat kutbah Ied hanya satu kutbah, bukan dua kutbah. Inilah pendapat Imam Syaukani, Imam Shan’ani, dan lain-lain. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 695; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/679). Pendapat yang rajih, kutbah Ied dilaksanakan dua kali, bukan satu kali. (Mahmud ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shalah, 2/177).
(13) Dibolehkan mengucapkan selamat (tahni`ah) setelah salat Ied, dengan ucapan, “Taqabbalallahu minnaa wa minka/minkum.” (semoga Allah menerima amal kami dan amal Anda). (Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 2/446). Memulai mengucapkan selamat adalah boleh, namun menjawabnya wajib. (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, 24/253).
Wallahu a’lam.
[Lm/Hw/Fa]