Seruan untuk tidak membayar pajak dilontarkan dengan ringan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono kepada pendukung calon presiden nomor urut 02. Ajakan boikot pajak digulirkan sebagai bentuk penolakan terhadap penetapan hasil resmi pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyatakan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul.

Spontan saja ajakan boikot pajak ini menuai pro dan kontra. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat bicara. Ia mengangkat fakta bahwa alokasi dana untuk partai politik berasal dari APBN yang bersumber dari pajak. Tidak hanya menopang fungsi pemerintah, pajak juga menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi lainnya seperti transportasi, logistik, infrastruktur, dan lainnya. Jika pembayaran pajak berkurang bahkan terhenti, maka dipastikan kegiatan-kegiatan ekonomi itu tidak bisa dijalankan.

Padahal Indonesia negara yang kaya. Memiliki sumber daya alam yang melimpah. Jika semua itu dikelola dengan baik dan tidak diserahkan kepada pihak swasta atau asing, maka negara tidak akan menggantungkan sumber APBN-nya dari pajak. Bukan hanya itu pengelolaan sumber daya alam yang tepat akan membantu negara mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan mudah. Tingginya pungutan pajak justru akan menyebabkan pendapatan disposibel relatif turun. Dengan menurunnya pendapatan disposibel maka konsumsi relatif pun akan menurun. Turunnya konsumsi akan berdampak pula turunnya pendapatan nasional equilibrium.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam, dimana Islam tidak menerapkan pajak kepada kaum muslimin kecuali jika negara sangat membutuhkan dana. Untuk menerapkan kebijaksanaan ini pun harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya. Hal itu dilakukan karena negara telah memiliki banyak sumber pendapatan dan tidak bergantung pada pajak.

 

Malihah Azizah
Konawe, Sulawesi Tenggara

[LS/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis