Peran Istimewa Perempuan dalam Pembangunan

Oleh: Umi Diwanti

(Pengasuh MQ. Khodijah Al-Kubro, Martapura-Kalsel)

 

LensaMediaNews- “Perempuan adalah tiang negara”. Sebuah frase yang sampai kini tak bisa dipungkiri. Oleh karenanya masalah perempuan selalu menjadi perbincangan. Mulai tingkat desa, negara hingga dunia. Beberapa waktu lalu Kalsel kembali menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Peningkatan Peran dan Kapasitas Kelompok Perempuan dalam Pembangunan di Ballroom Golden Tulip Galaxy Hotel Banjarmasin, 22 Maret 2019. Seperti biasanya, isu gender masih dipercaya mampu atasi ketertinggalan pembangunan manusia. (www.kalselprov.go.id, 25/3/19)

Setali tiga uang, menteri keuangan pun pernah berseloroh, “Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan (kemenpppa.go.id, 2/08/18).

Dari sini dapat dilihat bahwa isu gender sebenarnya hanyalah dogma negara-negara Barat berideologi kapitalis sekuler. Wajar jika akhirnya pernikahan dini dianggap sebagai benalu yang mematikan produktivitas perempuan. Berbagai carapun dilakukan untuk menghentikannya

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang pernikahan tak luput jadi sasaran. Batas usia minimum menikah dianggap menjadi pemicu tingginya angka pernikahan dini. Padahal, Allah yang menciptakan manusia saja tidak membatasi. Sungguh keji perbuatan menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Mengharamkan yang halal.

Dalam kenyataannya, perempuan yang menikah dini akhirnya memang tidak bisa bersekolah lagi. Itu disebabkan adanya aturan dan perundangan pendidikan yang melarang sekolah bagi yang sudah menikah padahal dalam Islam belajar adalah kewajiban dari buaian hingga liang lahat. Tidak boleh dibatasi termasuk ketika berstatus menikah. Bahkan negaralah yang berkewajiban memfasilitasi semua warganya untuk bisa terus belajar.

Demikian juga dengan pekerjaan, dalam Islam sumbangsih perempuan tidak ditimbang dari produktifitas ekonominya. Allah Sang Pencipta sangat memahami bahwa tugas mulianya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tentu saja memerlukan curahan tenaga dan pikiran ekstra. Karenanya perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah, bahkan untuk dirinya sendiri. Apalagi sampai membebani perempuan sebagai penyangga ekonomi keluarga dan negara.

Penafkahan keluarga dalam Islam, mempunyai jalur ekonomi melalui para wali. Sedangkan negara memiliki jalur pemasukan sendiri, melalui beberapa pos andalan. Tidak memerlukan pemberdayaan ekonomi perempuan. Justru dengan pos yang sudah ditetapkan syariat itu negara dimampukan menjamin nafkah perempuan yang walinya tidak memiliki kecukupan.

Pernikahan dalam Islam adalah sesuatu yang dipromosikan. Bagi pemuda yang mampu, Rasul menyarankan untuk menikah. Menjaga kesucian diri dan sebagai pencetak generasi. Ibu muda yang memiliki kesiapan, tenaga dan pikirannya pasti lebih baik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan peran terbaik perempuan.

Meski demikian, Islam tidak melarang perempuan berkarya di ranah publik. Perempuan adalah partner bagi laki-laki. Saling bantu sesuai talenta masing-masing. Negara hanya memastikan peran publik perempuan jangan sampai melalaikan peran utamanya. Alhasil akan melejitkan pembangunan. Tidak akan menjadi boomerang seperti sekarang.

Pemberdayaan perempuan dalam isu kesetaraan gender hanya akan menghasilkan banyak kerugian. Jikapun perempuan bekerja mampu meningkatkan ekonomi. Tapi dari sana kerusakan generasi pun muncul. Semakin banyak ibu bekerja otomatis semakin banyak anak yang kurang perhatian dan pengawasan. Semakin mudahlah mereka terseret pada arus rusak dan merusak.

Hal ini pernah diungkapkan oleh Vannesa Tobin, wakil direktur UNICEF untuk New York kala itu. Dia mengatakan bahwa berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa biaya sosial dari migrasi tenaga kerja lebih besar daripada manfaat ekonominya, dengan korban pertamanya adalah bangunan keluarga dan dinamikanya (2008, International Conference on Gender, Migration and Development).

Oleh karena itu jelaslah sudah, pembangunan manusia yang sesungguhnya hanya bisa diraih dengan mereposisi perempuan sesuai ketentuan Islam. Sebagai manajer rumah suaminya dan sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Negaralah yang bertanggung jawab merealisasikannya. Dengan menjadikan Islam sebagai landasan mengatur kehidupan bangsa, bukan selainnya. Allahua’lam.

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis