Politik Uang Melahirkan Kerakusan
Oleh: Sri Retno Ningrum
LensaMediaNews- Pemilihan umum (pemilu) merupakan ajang bagi rakyat untuk menentukan suara. Rakyat berharap dengan terpilihnya wakil rakyat yang baru, dapat memberikan perubahan hidup yang lebih baik dari sebelumnya.
Pemilu 2019 kali ini adalah pemilu yang unik. Pasalnya, dalam sehari, rakyat diminta untuk memilih 5 posisi penting di pemerintahan. Tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden,tetapi juga sekaligus memilih anggota DPR-RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota DPD.
Keunikan lainnya adalah keberadaan kotak suara yang terbuat dari kardus. Padahal, surat suara merupakan dokumen negara yang sangat penting. Dan yang paling unik, pasien dari rumah sakit jiwa pun diberikan hak untuk memilih. Sungguh unik!
Sekalipun begitu, pelaksanaan pemilu 2019 kali ini, sama saja dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu unik ini, tidak terlepas dari adanya praktek politik uang. Seorang peneliti psikologi politik Universitas Indonesia, Haudi Muluk, mengemukakan bahwa untuk mendapatkan keterpilihan seorang calon ditentukan tiga hal, yaitu diketahui, dikenal dan disukai. Cara yang tercepat untuk mendapatkan tiga syarat itu adalah dengan tatap muka dan memberikan bantuan. Dengan kata lain, menggunakan politik uang akan lebih cepat untuk mendapatkan suara.
Politik uang tidak harus berupa uang bisa dengan cashless atau non tunai, terlebih di jaman digital seperti sekarang ini. Anggota Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), Fritz Edward Siregar, mengungkapkan di jaman modern banyak cara yang digunakan untuk terpilih dan lebih dari 40 kasus dibongkar dan diadili. Tapi Beliau mengakui masih banyak diluar sana yang melakukan hal serupa. Ada puluhan warga yang diberikan imbalan token listrik untuk memilih calon tertentu. Kasus ini tengah bergulir di meja hukum. (Kompas.com, 15 april 2019).
Politik uang merupakan bentuk suap karena memberikan uang atau barang dengan maksud tertentu. Padahal Allah SWT melarang hal tersebut. Dalil umum yang mengharamkan suap antara lain hadist dari Abdullah bin ‘ Amr RA. Rasullah SAW bersabda:
” Telah melaknat setiap orang yang menyuap dan menerima suap (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)”.
Praktek suap-menyuap seakan sudah menjadi tradisi dalam pemilu. Umat pun tidak peduli lagi halal dan haram untuk mendapatkan uang. Parahnya lagi, sebagian berprinsip tidak ada uang suap maka tidak memilih. Rakyat tidak lagi menilai visi dan misi serta kepribadian calon yang akan mereka pilih. Demikian pula dengan para calon wakil rakyat. Ketika menginginkan sebuah jabatan atau kekuasaan, mereka melakukan suap untuk mengambil hati rakyat. Padahal ia akan menjadi pengurus rakyat. Sabda Rasullah SAW.
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR. Bukhari)”.
Politik uang yang terjadi seperti sekarang ini, adalah buah dari diterapkannya sistem demokrasi-kapitalisme. Sistem ini membuat siapapun rakus akan uang, harta dan jabatan. Karena ketakwaan hilang dan kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan rakyat. John Lock mengemukakan bahwa manusia itu dijamin dan dilindungi oleh pemerintah. Namun, kenyataan yang ada sangatlah berbeda. Filosofi sistem demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” sudah tidak lagi ada. Yang ada hanyalah kemaslahatan sebasar-besarnya bagi para pengusaha yang memberikan bantuan modal untuk kepentingan kampanye.
Berbeda dengan islam, islam adalah agama universal yang mengatur semua urusan kehidupan manusia. Politik islam merujuk pada syariah islam. Sesuai firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 65 artinya:
“Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Sebagai seorang Muslim kita wajib menjalankan politik sesuai dengan hukum islam sebagai wujud ketundukan kita kepada syariah-Nya. Terlebih sistem sekarang banyak menimbulkan kefasadan. Politik dalam sistem demokrasi menjadikan manusia tidak bisa berpikir jernih lagi. Banyak kita saksikan, bagaimana para elite politik yang kemarin berkawan tapi keesokan harinya menjadi lawan. Dan bisa disimpulkan tidak ada teman atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Kita patut merenungkan firman Allah SWT dalam Quran surat Al-Maidah ayat 47 yang artinya :
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”
Wallahu’alam bisshowab
[LS/Nr]