PPN Naik, Nasib Rakyat Semakin Terjepit
Belum pulih kondisi perekonomian rakyat sebagai efek pandemi yang tiada kunjung berakhir, kini nasib rakyat akan semakin terjepit dengan disahkannya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) oleh pemerintah. PPN yang tadinya 10 persen, naik menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Ketentuan itu diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (cnnindonesia.com, 07/10/2021).
Kenaikan PPN ini tentu akan memberi dampak pada kenaikan harga barang yang dikonsumsi masyarakat. Akibatnya daya beli masyarakat menurun. Daya beli yang turun tentu saja membuat tingkat konsumsi masyarakat semakin berkurang. Alih-alih dengan menaikkan PPN ini dapat menambah penerimaan negara, yang akan terjadi adalah pertumbuhan ekonomi yang akan semakin lambat.
Digenjotnya pemasukan negara dari sektor pajak menjadi ciri khas kebijakan negara demokrasi kapitalis sekuler. Akhirnya lagi-lagi rakyat sebagai objek pajak menjadi sasarannya. Sayangnya negara begitu getol menarik pajak dari rakyat, akan tetapi di sisi lain membuat kebijakan untuk menghapus pajak dari kaum pemilik modal. Misalnya membuat kebijakan tax amnesty, mengurangi pajak kendaraan mewah, dan lain-lain.
Dalam pemerintahan Islam, sektor pajak tidak dijadikan sumber pemasukan utama negara. Pajak dalam Islam menjadi opsi ketika kondisi keuangan di negara sedang kosong. Pajak atau yang lebih tepat disebut dharibah dipungut hanya kepada penduduk yang mampu dan sifatnya temporal saja. Setelah kondisi kas negara sudah normal, maka negara diharamkan memungut pajak dari rakyat.
Alangkah tidak tepat jika penguasa saat ini masih terus membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Sumber daya alam Indonesia sebenarnya sangat cukup untuk membiayai segala kebutuhan rakyatnya jika dikelola dengan baik dan benar. Tentu saja hal ini akan terealisasi jika semua pengaturannya dikembalikan pada syariat Islam.
Ratni Kartini, S.Si
(Kendari, Sulawesi Tenggara)
[hw/LM]