Guruku Sayang Guruku Malang
Memang sulit dilupakan ketika mendengar kabar dan melihat sendiri fenomena guru honorer saat mengikuti ujian PPPK. Padahal mereka ikut andil mengabdi untuk kemajuan pendidikan dalam mencerdaskan anak bangsa. Namun, nasib kurang baik sedang ada di pihaknya setelah beredar kabar mengenai pelaksanaan ujian seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) atau lebih dikenal dengan istilah guru honorer.
Tidak sedikit para netizen yang kontra, karena ujian seleksi PPPK ini dirasa tidak pandang usia atau berapa lama dia mengabdi sebagai pengajar (guru). Ditambah pengumuman hasil ujian PPPK masih dalam penundaan. Tentunya hal ini membuat para peserta guru honorer bertanya-tanya dalam ketidakpastian.
Sungguh tak kuasa mendengar langsung cerita perjuangan mereka untuk mengikuti seleksi PPPK. Tidak sedikit dari mereka yang sudah memasuki usia senja. Ditambah Beredar beberapa video kisah perjuangan guru honorer yang sangat mengiris hati. Ada seorang ibu yang sudah cukup sepuh, berjalan dengan tertatih-tatih bahkan sampe digendong masuk ruang ujian tes PPPK. Ada juga seorang bapak yang penglihatannya sudah berkurang sehingga melihat tulisan di komputer saja sangat kesulitan.
Demi mendapatkan pengakuan negara, mereka harus rela antri dan mengikuti tes meski dengan kondisi susah-payah. Tak sedikit dari guru honorer tersebut yang berasal dari pelosok, datang dengan menempuh jarak yang jauh dan penuh rintangan. Padahal para guru hadir dan mengabdi untuk memperbaiki nasib negeri ini, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, nampaknya perhatian dan penghargaan terhadap mereka tidak sepadan dengan keringat dan jasa yang dicurahkan dengan ikhlas. Pantas saja kalo guru diberi gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Namun demikian, bukan berarti pemerintah kemudian mengabaikan kesejahteraan para guru yang notabene sudah mengabdi bertahun-tahun. Harusnya pemerintah memberikan fasilitas atau kebijakan yang memudahkan para guru agar kesejahteraannya terjamin. Dengan begitu, mereka bisa lebih fokus untuk mendidik putera-puteri bangsa agar berprestasi dan berkepribadian luhur. Bukan malah disibukkan dengan hal-hal teknis yang menjemukan dan menyita waktu mereka hanya demi menyambung hidup. Lihatlah bagaimana Jepang dahulu bisa bangkit dalam waktu singkat, karena pemerintahnya memprioritaskan guru dan pendidikan.
Hanah Nuraenah,
(Yogyakarta)
[hw/LM]