Saipul Jamil, dari Glorifikasi Muncul Petisi
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
(Lingkar Studi Muslimah Bali)
Lensa Media News – Menolak lupa, 5 tahun lalu tepatnya tanggal 14 Juni 2016 seorang pedangdut dijatuhi hukuman selama 3 tahun penjara atas kasus pencabulan anak. Namun, ia melakukan banding dan PK kepada Mahkamah Agung, tetapi ditolak dan justru hukumannya ditambah 2 tahun. Alhasil, ia mendekam di penjara selama 5 tahun.
Selama 5 tahun masa tahanan ini ia jalani di Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Pada awal September lalu (2/9), ia dinyatakan bebas. Pedangdut ini bernama Saipul Jamil (SJ). Namun, bebasnya ia dari tahanan justru menuai polemik di masyarakat.
Pasalnya, kebebasannya ini justru disambut dengan suka cita dan kemewahan. Dikalungi bunga dan dijemput mobil mewah, sambil ia melambaikan tangan kepada masyarakat di sekitarnya. Seperti menyambut seorang pahlawan atau tokoh yang disegani. Bahkan diliput juga oleh berbagai media. Sungguh pemandangan yang miris di negeri ini.
Dari kejadian ini, banyak pihak yang mengecam. Mulai dari rekan sesama artis, DPR, Menteri PPPA, KPAI, dan sejumlah elemen masyarakat. Semua menyayangkan tindakan glorifikasi ini kepada pelaku pencabulan anak. Salah satu hal yang ditakutkan adalah membuat psikologis korban menjadi terpukul kembali dan sulit untuk pulih.
“Anak korban ataupun korban-korban kekerasan seksual lainnya menjadi makin takut terbuka atau bicara atas apa yang dialaminya, psikologis korban menjadi terpukul kembali dan bisa jadi sulit pulih ketika pelaku malah disambut seperti pahlawan,” ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti kepada wartawan, Minggu, 5/9/2021. (liputan6.com)
Bukan hanya penyambutannya yang mewah saja, namun sampai ia diundang di salah satu televisi swasta dan menghadiri acara ngunduh mantu salah satu pasangan artis yang ditayangkan secara live. Benar-benar mengundang atensi masyarakat, terutama atensi geram.
Glorifikasi adalah kata serapan dari Bahasa Inggris (glorification), yang artinya adalah aksi melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan hebat luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela.
Padahal, jika dilihat dari kasus SJ, maka tindakan glorifikasi tidaklah pantas ia terima. Karena kasus pencabulan anak yang menjeratnya tetap menjadi wabah menjijikkan di negeri mayoritas muslim.
Apabila nilai dan sistem sekuler terus dipraktikkan, maka akan menjadi pembenaran pada kasus-kasus pelecehan seksual seperti ini. Bahkan definisi kekerasan seksual bisa terus mengalami perubahan berdasarkan siapa yang menghendakinya. Atas tindakan glorifikasi kepada SJ, ia mendapatkan petisi boikot untuk tidak tampil di layar kaca. Setidaknya sudah ada 498.420 lebih orang menandatangi petisi boikot ini di laman Change.org. (bogor.pikiran-rakyat.com, 8/9/2021)
Mungkin sebagian orang menganggap petisi ini terlalu lebay, apalagi yang menjadi teman dekat SJ, pasti akan mendukung SJ meskipun yang memboikot sudah hampir 500 ribu orang.
Begitulah jika media bekerja. Baru muncul satu pemberitaan, namun pengaruhnya bisa secepat kilat dan menjalar kemana-mana.
Fungsi Media dalam Islam
Media di dalam Islam memiliki fungsi strategis dalam menyediakan tontonan pada masyarakat. Tontonan yang ditampilkan pun bukan sekadar hiburan semata, melainkan lebih kepada edukasi dan penjagaan akal serta ladang dakwah.
Fungsi media ada di dua ranah, yakni di dalam negeri dan di luar negeri. Adapun di dalam negeri, media berfungsi untuk mengokohkan akidah umat. Sedangkan di luar negeri, media berfungsi sebagai dakwah dan membongkar kebobrokan ideologi dan taktik jahat Negara kafir harbi.
Media di dalam Islam berada dalam pengawasan pemerintah. Tentu ada seleksi dan kontrol penyiaran. Pemerintah pun harus konsisten dengan aturan yang dibuat. Harus ada tindakan tegas bagi penyiaran yang melanggar. Tentu aturan tersebut disesuaikan juga dengan Islam sebagai ideologi negaranya.
Dengan demikian, tidak akan ada penyiaran yang menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bishowab
[ra/LM]