Campakkan Demokrasi dan Otoriter, Raih Perubahan dengan Islam
Oleh: Dwi Anjani
(Mahasiswa Malang)
Lensa Media News – Kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi membuat rakyat protes dan tidak percaya lagi terhadap apapun yang menjadi kebijakan pemerintah. Mulai dari penerapan kebijakan PSBB sampai pada penerapan kebijakan PPKM yang tak kunjung usai.
Musibah pandemi Covid-19 yang terjadi tidak hanya mengguncang sektor perekenomian, bahkan aspek perpolitikan dunia tak luput dari amukan badai perubahan karena Covid-19. Salah satunya adalah apa yang terjadi di negara Tunisia, dimana Presiden Tunisia, Kais Saied, mengambil-alih kekuasaan pemerintah dengan menerapkan keadaan darurat nasional atas pandemi virus corona dan pemerintahan yang buruk. Kais Saied sendiri memberhentikan perdana menteri, membekukan parlemen, kemudian merebut kembali eksekutif. Tindakan tersebut menjadikan dia akhirnya dicap telah melakukan kudeta oleh lawan politiknya (Republika.co.id, 01/08/2021). Meskipun negara Tunisia dipandang sebagai satu-satunya negara yang berhasil melakukan transisi demokrasi, namun tetap saja didesak untuk segera membawa kembali negaranya ke jalur demokrasi oleh penasihat keamanan nasional AS, Jake Sullivan.
Adapun kesalahan yang terjadi di Tunisia dengan mengambil alih kekuasaan secara otoriter, tidaklah berarti demokrasi adalah yang benar ataupun dapat menjadi penyelamat negara dari keterpurukan. Bahkan Indonesia sendiri telah disebut sebagai negara paling demokratis, justru mendapat peringkat terburuk dalam menangani Covid-19 di dunia, yaitu peringkat ke 53 dari 53 negara di dunia. Angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia sangat tinggi, tercatat lebih dari 1.300 orang meninggal setiap harinya. Vaksinasi juga masih rendah, yaitu 11,9 persen dari total penduduk (Tribunnews.com,31/07/2021).
Sementara itu Cina sebagai negara pertama terjadinya kasus covid-19 terbukti gagal membendung penyebaran Covid-19 ke seluruh dunia.
Penanggulangan penularan virus di dalam sistem negara demokrasi kapitalisme dan sosialisme tidak didasarkan sepenuhnya pada paradigma bahwa nyawa satu rakyat atau warga negara harus dilindungi dengan sungguh-sungguh. Masih ada unsur kepentingan lain seperti ekonomi dan politik yang cenderung diprioritaskan dibandingkan kesehatan. Ketidakadilan demokrasi dapat dirasakan oleh rakyat saat ini. Rakyat dilarang keluar rumah meski dengan alasan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan pokok hidup mereka. Akan tetapi, di sisi lain orang yang memiliki banyak uang diberikan kelonggaran dan bahkan bebas keluar masuk negara. Seperti wisata vaksin yang dilakukan oleh Crazy Rich, dan TKA cina yang bebas masuk Indonesia. Parahnya, demokrasi kapitalisme dan sosialisme memandang kasus penularan, yang sakit, dan yang meninggal karena Covid-19 hanya sebagai angka.
Islam Kaffah, Sistem Alternatif untuk Menghentikan Pandemi
Pandemi Covid-19 adalah musibah dunia. Setiap pandemi pasti ada masanya berlalu, namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa segera keluar dari masa pandemi ini dengan meminimalkan korban nyawa. Islam hadir sebagai alternatif solusi menghentikan pandemi Covid-19, bukan hanya secara teknis tapi juga paradigmatis.
Secara teknis sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pertama, Islam mewajibkan melakukan karantina/isolasi bagi yang sakit. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar dari tempat itu” (HR Muslim). Masyarakat yang sakit dipisahkan dari masyarakat yang sehat.
Kedua, sistem Islam akan terus melakukan semacam program 3T (testing, tracing, treatment). Kemudian, terus menerapkan protokol kesehatan 5M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Juga menyediakan vaksinasi yang sudah terjamin keamanan dan kualitasnya, serta vaksinasi dapat menjangkau rakyat secara menyeluruh dengan terus melakukan riset penelitian terhadap virus.
Ketiga, adanya political will yang besar dari negara sistem Islam untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama masa karantina wilayah, atau jika dibutuhkan negara melakukan lockdown. Dengan itu negara dapat menghidupi rakyatnya. Sehingga rakyat tidak perlu khawatir tidak bisa makan selama masa pandemi. Sumber pendanaan diambil negara dari pemasukan negara, bisa dari pengelolaan sumber daya alam di wilayah negara Islam, atau pungutan lain yang dibolehkan oleh syariat Islam.
Semuanya dilandasi paradigma solusi Islam, bahwa setiap nyawa rakyat harus dilindungi dan bahwasanya pemerintah atau pemimpin itu adalah pelayan rakyat yang harus bersungguh-sungguh mengurusi umat karena sadar itu adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Swt di akhirat. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari).
Inilah saatnya kita untuk kembali menerima Islam secara kaffah di bawah institusi Khilafah Islamiyah, karena hanya dengan Islamlah kesejahteran, kedamaian, dan keadilan dapat kita rasakan. Kita juga harus mencampakkan sistem demokrasi-kapitalisme dan sosialisme otoritarianisme.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]