Bencana Bertubi, Menunggu Pemimpin Instropeksi Atau Undur Diri

Oleh: Anita Rachman
(Muslimah Peduli Peradaban)

 

Lensamedianews.com-“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah pada diri kalian dan dalam masalah kalian yang tidak tampak dari manusia. Saya tertimpa musibah karena kalian. Kalian juga tertimpa musibah karena saya. Saya tidak tahu apakah kemurkaan tiba karena saya, bukan karena kalian ataukah karena kalian, dan bukan karena saya ataukah karena kita semua. KemariIah, kita berdoa memohon kepada Allah agar berkenan memperbaiki hati kita, merahmati kita dan melenyapkan kemarau (bencana) dari kita.”

Itulah khutbah Khalifah Umar Bin Khattab dikala bencana melanda negeri. Muhasabah, merasa mungkin ada kemaksiatan yang dilakukan sang pemimpin, umat atau keduanya. Maka seruannya adalah mengajak bertaubat. Kembali kepada Allah. Menyandarkan segala urusan kepada Sang Pencipta dan Pemilik Semesta.

Apa kabar hari ini? Adakah kemaksiatan? Banyak? Atau tak terhingga? Ekonomi kita berbasis riba. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al Baqarah: 275). Dalihnya, kalau tidak pakai riba kapan bisa maju? Tanpa riba bagaimana ekonomi bisa berjalan? Disadari atau tidak kita telah meragukan konsep Allah Swt. Mengabaikan peringatan keburukan jika yang haram tetap dilakukan.

Pendidikan dikembangkan dengan konsep moderasi beragama. Yang sejatinya adalah kata lain dari sekulerisme. Memisahkan agama dari kehidupan secara keseluruhan. Terbukti, perintah menutup aurat yang sudah jelas wajib, masih saja diutak atik dijadikan polemik. Pakaian disebut masuk ranah pribadi. Negara tidak boleh ikut campur. Tapi disaat yang sama mencampuri (baca: melarang) muslimah berhijab syar’i bahkan bercadar. Ironisnya lagi, membiarkan wanita lain auratnya diumbar.

Karakter sosial masyarakat lebih terlihat individualis. Masing-masing merasa tak perlu ikut campur urusan orang lain. Saat melihat kemaksiatan, “yang penting bukan kita”. Atau seandainya ada yang menasehati di balas “urus saja dirimu sendiri”. Padahal amar ma’ruf nahi munkar (kontrol sosial) yang kuat adalah salah satu tameng ampuh menumpas kemaksiatan. Wajar zina dan minuman keras merajalela. Individu belum benar-benar bertaqwa. Sanksi negara tak membuat jera, karena menggunakan hukum buatan manusia.

Pengelolaan negara jauh dari orientasi mengurusi rakyat. Yang ada dari rakyat, oleh rakyat, untuk elit dan konglomerat. Rakyat bekerja, rakyat pula yang bayar pajaknya. Tak ada yang meragukan potensi kekayaan alam negeri ini. Tapi siapa yang menikmati?. Rakyatnya bak ayam mati dilumbung padi. Orang kaya bisa dihitung dengan jari.

Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas sudah umum menjadi opini. Bahkan para penguasa tanpa malu mempertontonkan kejahatan dengan sangat telanjang. Korupsi triyunan dianggap biasa. Bahkan pelakunya mendapat potongan hukuman. Bandingkan dengan perlakuan pada maling pepaya yang terpaksa mencuri demi mengganjal perut yang lapar.

Demokrasi yang berbiaya tinggi membuat pelakunya membutuhkan dukungan dari pemilik modal. Di sinilah janji politik dan transaksi kepentingan diobral. Katanya demokrasi ada untuk rakyat. Tapi faktanya hanya dijadikan jalan mengejar kekuasaan dan memuluskan kepentingan segelintir orang.

Ikatan persaudaran begitu sempit karena dibatasi sekat bangsa. Aku indonesia, kamu Palestina dan lain-lain. Padahal jika ada yang menjajah Muslim di Sulawesi, bukankah Muslim di Sumatera, Jawa dan Kalimantan merasa perlu untuk membebaskannya? Apa bedanya kita Muslim Indonesia dengan mereka Muslim Palestina? Ya, yang membedakan (baca : memisahkan) adalah nasionalisme.

Hari ini, coronavirus melanda negeri. 2 juta lebih orang terinfeksi. 60 ribu lebih meninggal dunia. Banyak ahli menyoroti negara gagal menangani pandemi. Pemimpin yang tidak cakap dan sistem yang cacat melahirkan kebijakan yang tidak tepat. Korbannya tidak lain adalah rakyat. Rasanya tak ada habisnya jika masih harus dilanjutkan. Mengapa ini terjadi? Kita terus terpuruk? Bencana datang bertubi?

Allah berfirman “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS Ar Rum: 41).

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, dengan ditegakkannya hukum Allah, maka manusia akan menahan diri dari kemaksiatan. Jika kemaksiatan ditinggalkan maka akan membuahkan keberkahan dari langit dan bumi. Abu al-Aliyah berkata, “Barang siapa yang durhaka kepada Allah di muka bumi, berarti dia berbuat kerusakan dibumi. Hal itu karena kedamaian bumi dan langit adalah dengan ketaatan”.

Mungkinkah para pemimpin hari ini introspeksi dan bertaubat sebagaimana yang dilakukan para khalifah? Atau legowo mengundurkan diri karena sadar tak mampu memegang amanah? Apa yang bisa kita lakukan? Terus sampaikan kepada umat, “Kembalilah kepada Allah. Tinggalkan sekulerisme, kapitalisme, demokrasi. Ambil Islam sebagai pengganti. Adakah yang meragukan kesempurnaanya?”. Wallahu a’lam bish showab. [LM/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis