Mewujudkan Keadilan Hakiki
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Tok! Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur resmi menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap Habib Rizieq Shihab dalam sidang putusan kasus swab test RS UMMI, Kamis (24/6/2021). Hakim menilai Rizieq bersalah lantaran dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyampaikan kabar bohong atas kondisi kesehatannya selama dirawat di RS UMMI yang dianggap telah menerbitkan keonaran di tengah masyarakat (suara.com, 24/06/2021).
Vonis tersebut menuai banyak kritikan. Salah satunya dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon yang menilai vonis tersebut tidak adil, bila dibandingkan dengan vonis perkara pidana maupun korupsi lainnya yang divonis sama (news.detik.com, 25/06/2021). Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, selama Januari-Juni 2020, rata-rata vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi di berbagai tingkatan pengadilan yaitu 3 tahun. (kompas.com, 11/10/2020).
Di waktu yang hampir bersamaan pada tanggal 14 Juni 2021, putusan untuk jaksa Pinangki Sirna Malasati atas kasus penerimaan suap, permufakatan jahat dan pencucian uang hanya divonis empat tahun penjara. Vonis ini lebih ringan enam tahun dibandingkan dengan tuntutan sebelumnya yaitu sepuluh tahun penjara. Pemotongan tersebut diputuskan majelis hakim dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya. Lantas apakah setiap orang yang menyesal akan mendapatkan perlakuan yang sama? Tentu saja tidak!
Hakim juga begitu berbaik hati memikirkan faktor pertumbuhan anak Pinangki yang masih membutuhkan kasih sayang dalam memutuskan vonis. Bahkan memerhatikan pula gender Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil. Padahal Pinangki Sirna Malasari merupakan orang yang memahami hukum, tetapi tindakannya justru melawan hukum. Bahkan tindakannya ini terbukti merugikan negara dan masyarakat.
Seharusnya, hukum yang diberikan kepada penegak hukum yang terbukti melakukan kejahatan, diganjar dengan hukuman lebih keras agar menimbulkan efek jera. Ini pula yang akhirnya dipertanyakan oleh Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma. “Bagaimana mungkin seorang yang hanya didakwa menyebarkan kebohongan melalui YouTube dan menyebabkan keonaran, divonis lebih berat dari kebanyakan vonis terhadap koruptor?” ujarnya (rmolbanten.com, 06/25/2021).
Forum Rakyat melihat vonis 4 tahun penjara terhadap Habib Muhammad Rizieq Syihab (HRS) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah melukai rasa keadilan. Lies menyebutkan banyak pihak yang sesungguhnya berharap Habib Rizieq divonis bebas. Bukan saja karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tentang menyebarkan informasi bohong yang menyebabkan keonaran terlalu dipaksakan, tetapi juga karena banyak pernyataan JPU tentang Habib Rizieq di dalam persidangan, bertentangan dengan fakta.
Sistem sekuler lagi-lagi mempertontonkan matinya keadilan. Dimana ulama yang kritis pada penguasa divonis dengan hukuman yang tak masuk akal. Sementara pelaku kejahatan perampok harta rakyat, yaitu koruptor dan para kroninya bisa bebas dari jerat hukum. Lantas mengapa produk hukum sekuler tidak mampu mewujudkan keadilan dan memuaskan publik?
Pertama, pembuat hukum adalah manusia yang bersifat lemah dan memiliki banyak kekurangan. Maka bisa dipastikan produk yang dihasilkan memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Akal manusia yang terbatas tidak mampu menentukan perbuatan terpuji atau tercela. Baik ataupun buruk. Termasuk tidak mampu pula menilai kejahatan atau bukan, berdampak pahala ataukah dosa, layak mendapatkan sanksi hukum ataukah tidak.
Kedua, standar dalam penetapan UU berdasarkan suara terbanyak. Di sisi lain manusia senantiasa bersikap sangat subjektif dan pasti membawa kepentingan para pembuatnya. Maka suara terbanyak ini jelas bukan dari masyarakat, tetapi mayoritas anggota parlemen yang mewakili partai politik. Hasilnya keputusan yang tetapkan tidak sesuai harapan masyarakat.
Berbeda dengan Islam yang jelas membawa kebaikan hakiki bagi masyarakat. Sebab asas yang digunakan adalah akidah Islam yang melahirkan berbagai macam sistem kehidupan. Hukum yang lahir berasal dari Allah Swt. yang Maha Sempurna dan Maha Adil, pasti mengandung kesempurnaan. Sistem hukumnya mampu mendeskripsikan perbuatan apa saja yang masuk dalam bagian kejahatan (jarimah), serta menetapkan berbagai jenis sanksinya.
Adapun sumber hukum Islam adalah sesuatu yang disepakati para ulama yaitu Al-Qur’an, sunah, ijmak sahabat dan qiyas. Legislasi dalam hukum Islam tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Hukumnya berasal dari Allah Swt. Sehingga tidak seorang pun yang bisa dan boleh mengotak-atik, serta memanipulasi hukum. Kejelasan sumber hukumnya menghindarkan dari perselisihan, karena rujukannya adalah wahyu Allah Swt. Lebih dari itu semua adalah adanya garansi resmi adanya kebaikan untuk manusia dari Allah Swt. dalam surat Al-Anbiya ayat 107.
Wallahu’alam.
[ry/LM]