Wacana Tak Logis di Tengah Pandemi

Oleh : Emmy Emmalya

(Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News – Sungguh miris, di tengah himpitan ekonomi yang kian mendera masyarakat saat pendemi ini, pemerintah malah mewacanakan kebijakan pengenaan pajak pada berbagai sektor strategis yang dibutuhkan masyarakat. Mulai dari sembako, pendidikan hingga kesehatan. Jelas ini akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan memperlambat laju roda perekonomian.

Pada sembako misalnya, pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai pada beras yang premium, telur premium dan daging premium. Selain sembako, pemerintah juga akan mengenakan pajak pertambahan nilai atau PPN pada jasa pendidikan. Hal ini tercantum dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) (Tempo, 10/06/21).

Sebelumnya, jasa pendidikan seperti sekolah tak dikenakan pajak karena termasuk kategori jasa bebas PPN. Berdasarkan ketentuan ayat (3) Pasal 4A mengatur tujuh jenis jasa yang tidak dikenai pajak. Ketujuh jasa yang tak dikenai PPN itu adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko dan jasa keuangan. Selanjutnya adalah jasa asuransi, jasa keagamaan dan jasa pendidikan.

Pada jasa pendidikan misalnya, dengan adanya kebijakan ini otomatis akan berimbas pada kenaikan jasa pendidikan yang akan dikenakan pada masyarakat dan akan menaikkan angka anak putus sekolah. Padahal, pendidikan itu adalah basic need bagi masyarakat, karena pendidikan adalah sarana untuk menerpa SDM yang nantinya akan melanjutkan keberlangsungan peradaban bangsa.

Penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban bagi negara dan tidak boleh dijadikan barang yang bisa dikomersilkan begitu saja apalagi dikenai pajak. Jangankan dipajak, tidak dipajak pun tidak semua masyarakat bisa mengenyam pendidikan. Menurut data dari Semua Murid Semua Guru (SMSG), sebuah komunitas pendidikan, ada sekitar 13 juta anak Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan dan 187 ribu di antaranya putus sekolah (https://kumparan.com/millennial/smsg-13-juta-anak-indonesia-tidak-mengenyam-pendidikan-1qXbZAONV86) .

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis, menyusun APBN-nya dengan menjadikan pendapatan utama negara dari pajak. Menurut konsultan pajak, anto ginting mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen pendapatan negara Indonesia itu berasal dari pajak (republika, 27/04/17).

Pendapatan itu dialokasikan untuk membayar cicilan hutang dan biaya birokrasi sisanya baru digunakan untuk “rakyat”.

Tidak demikian halnya dengan Islam, pajak bukan sebagai sumber pendapatan negara, pajak hanya sebagai instrumen dalam kebijakan politik ekonomi negara. APBN Khilafah disusun dengan menjadikan sistem dan politik ekonomi Islam sebagai landasan. Dalam politik ekonomi Islam, negara menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok dan dasar rakyat, serta kesempatan terpenuhinya kebutuhan sekunder, orang per orang secara menyeluruh.

Kebutuhan dasar rakyat itu meliputi kebutuhan pokok berupa sandang, papan dan pangan. Sedangkan kebutuhan dasar rakyat secara umum yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan. Adapun Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa papan, sandang dan pangan diberikan oleh negara dengan mekanisme tidak langsung :

Pertama, Islam menetapkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok individu berupa sandang, papan dan pangan kepada individu dengan cara mewajibkan setiap pria yang baligh, berakal dan mampu, untuk bekerja untuk dirinya sendiri, dan orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak, istri, ibu, bapak dan saudaranya.

Kedua: Jika individu tersebut tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka beban tersebut dibebankan kepada ahli waris dan kerabat dekatnya.

Ketiga, Jika dengan strategi kedua kebutuhan pokok itu belum juga terpenuhi, beban tersebut beralih ke negara. Negara wajib menanggung pemenuhan kebutuhan pokok orang tersebut menggunakan harta yang ada di kas Baitul Mal, termasuk harta zakat. Sedangkan, untuk jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara umum berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka negara memenuhinya secara langsung (https://mediaumat.news/politik-ekonomi-islam-menjamin-terpenuhinya-kebutuhan-primer/).

Pajak atau dharibah hanya akan diberlakukan ketika baitul maal atau kas negara tidak ada harta. Rakyat yang akan dikenai pajak pun tidak semua warga negara khilafah tapi hanya pada warga negara yang memiliki kelebihan secara finansial. Dalam penyusunan APBN, pos pendapatan dan pengeluaran khilafah telah ditetapkan oleh syariah.

Adapun sumber-sumber pendapatan negara Khilafah di antaranya : anfal, ghanimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum (misal, minyak bumi, gas alam, dan lain-lain), harta milik negara, usyur, zakat, harta yang tidak ada ahli warisnya. Dari sekian banyak sumber pendapatan negara, maka kondisi perekonomian Khilafah akan tetap terjaga dan terpenuhi untuk memenuhi seluruh kebutuhan warga negaranya. Wallahu’alam bishowab. [LM/Mi]

Please follow and like us:

Tentang Penulis