Negara Abai, Ibadah Rakyat Terbengkalai
Oleh: Ummu Qutuz
(Ummahat dan Member AMK)
Lensa Media News – Dikutip dari kompas.com, 4/6/2021, pemerintah melalui Kementrian Agama (Kemenag) RI membatalkan keberangkatan ibadah haji 1442 H/2021. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada Kamis (3/6/2021).
Masyarakat Indonesia harus menelan pil pahit dengan keputusan pembatalan keberangkatan ibadah haji tahun ini. Hal ini tentunya menambah panjang penantian calon jemaah untuk bisa menjadi tamu Allah di tanah suci Makkah. Tahun ini adalah kali kedua pembatalan keberangkatan jemaah haji, setelah sebelumnya tahun 2020 pembatalan terjadi karena alasan Covid-19.
Berbagai alasan dikemukakan oleh pihak pemerintah. Faktor kesehatan, keamanan, dan keselamatan jemaah haji dari ancaman pandemi Covid-19 menjadi alasan utama. Disamping itu, Kerajaan Arab Saudi hingga kini belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepakatan tentang persiapan pelayanan jemaah haji.
Walaupun beberapa alasan pembatalan keberangkatan ibadah haji telah disosialisasikan oleh pemerintah, namun tak lantas membuat masyarakat puas dengan alasan tersebut. Kalaulah pembatalan ini karena alasan kesehatan yaitu untuk menjaga jemaah dari paparan virus korona, namun kenyataannya tidak kosisten dengan kebijakkan negara.
Lihatlah kebijakan pelonggaran perizinan untuk kegiatan yang dipandang bisa menggerakkan ekonomi seperti aktivitas wisata dan perdagangan, sementara mudik dan silaturahmi dilarang. Bukankah tempat wisata dan pusat perbelanjaan ini akan mengundang kerumunan massa? Dan virus korona akan menyasar siapa pun dan di mana pun tanpa pandang bulu.
Begitu pun dengan alasan karena pihak otoritas Arab Saudi belum memutuskan kuota untuk Indonesia. Pertanyaannya, mengapa memutuskan pembatalan sebelum ada kejelasan tentang hal itu? Jika alasannya karena pemerintah butuh waktu untuk melakukan persiapan pelayanan jemaah haji, mestinya pemerintah sudah mampu menyelesaikan kesulitan yang muncul, karena memang pelaksanaan ibadah haji adalah agenda tahunan, jadi bukan hal yang baru.
Dari alasan-alasan yang diungkapkan jelas sekali ketidakseriusan dan abainya pemerintah dalam mengurus ibadah rakyatnya. Penyelenggaraan haji di negeri sekuler seolah hanya dilihat dari aspek ekonominya saja, bukan pelayanan penguasa dalam mempermudah warganya dalam beribadah. Dalam sistem sekuler, agama diposisikan sebagai penguat ekonomi, bukan landasan berjalannya roda pemerintahan.
Dalam Islam, pemimpin bertugas mengurus kebutuhan umat. Di samping itu, khalifah juga bertugas menjaga suasana iman masyarakat dengan menciptakan mekanisme pelaksanaan ibadah warganya seperti memberikan berbagai fasilitas yang memadai. Sehingga rakyat dapat menjalankan ibadah secara khusyuk tanpa dibebani permasalahan teknis lainnya.
“Imam (khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhori)
Pengurusan haji adalah salah satu upaya khalifah melayani warganya dalam beribadah. K.H. Hafidz Abdurrahman merinci apa saja yang menjadi kebijakan khalifah dalam mengatur permasalahan haji untuk memudahkan umat beribadah haji.
Pertama, khalifah membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umroh, dari pusat hingga daerah. Tugasya mengurusi urusan haji, mulai dari persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke negeri asalnya.
Kedua, Ongkos Naik Haji (ONH), besarannya ditentukan oleh biaya yang dibutuhkan berdasarkan jarak dengan tanah haram (Makkah-Madinah).
Negara akan memudahkan jemaah untuk pergi haji dengan meringankan biaya haji. Seperti apa yang dilakukan khalifah pada masa Abbasiyah, Khalifah Harun Ar Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titiknya dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas seperti KTP atau paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi waga negara kafir. Karena negeri-negeri Muslim berada dalam satu wilayah kekuasaan.
Keempat, pengaturan kuota haji dan umrah bisa berdasarkan hadis kewajiban haji dan umrah sekali seumur hidup. Dengan data yang akurat khalifah akan memprioritaskan jemaah yang belum pernah pergi haji. Jemaah pun harus mampu secara finansial sehingga seseorang yang belum mampu tidak usah memaksakan.
Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah tidak boleh menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jemaah haji tentang perjalanan hidup nabi dalam membangun peradaban Islam.
Beginilah yang dilakukan oleh khalifah agar rakyat bisa beribadah dengan khusyuk. Termasuk melaksanakan haji dengan mudah apabila seluruh pengurusan kehidupan dikembalikan pada tuntunan syariah Islam. Hal ini hanya bisa diwujudkan oleh institusi negara Khilafah rasyidah. Wallaahu’alam bishshowab. [LM/Mi]