Kebijakan Impor Disetir, Rakyat Kocar-kacir
Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Komunitas Menulis Setajam Pena)
Lensa Media News – Indonesia kini dibayangi ancaman impor daging ayam dari Brasil. Kabar tersebut pun sudah tercium oleh masyarakat. Meski masih proses negosiasi, namun masyarakat telah ketar-ketir dibuatnya. Bagaimana tidak, produksi dalam negeri saja masih surplus. Maka jika impor tetap terjadi, tentu rakyat yang akan merugi.
Dilansir dari Kompas.com (16/04/2021), Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementrian Perdagangan, Iman Pambagyo mengungkapkan Indonesia tengah melakukan negosiasi dengan Brasil terkait pembukaan impor daging ayam potong dari negara tersebut. Iman juga menyatakan jika konsultasi dengan Brasil memasuki “compliance report” atau pelaporan kepatuhan. Sebab Brasil menilai Indonesia belum mematuhi 1-2 isu.
Kasus tersebut merupakan sengketa dagang yang dilaporkan Brasil ke World Trade Organization (WTO). Brasil menggugat Indonesia melalui WTO pada 2014 lalu dan diputuskan memenangkan gugatan tersebut pada 2017. Namun, keputusan WTO tersebut dinilai tidak pernah diimplementasikan oleh Indonesia.
Indonesia dinilai terus menghalangi impor ayam dari Brasil. Maka Brasil kembali menggugat Indonesia pada Juni 2019 lalu. Dari kekalahan tersebut, konsekuensinya adalah Indonesia harus mengubah ketentuan impor untuk membuka kesempatan impor daging ayam dari Brasil.
Kebijakan Disetir, Negara Gagal Mandiri
Kebijakan demi kebijakan dalam negara saat ini memang tidak murni hasil jerih payah pemerintah sendiri. Dalam sistem kapitalisme, sebagai negara berkembang, Indonesia diharuskan bergabung dalam berbagai organisasi dunia. Salah satunya adalah WTO.
Sebagai badan perdagangan dunia, WTO yang didominasi negara-negara kapital seperti Amerika dan sekutunya, menginginkan membuka pasar bebas seluas-luasnya. Maka salah satunya adalah dengan adanya kebijakan impor antar negara.
Sebagai anggota WTO dan terikat kerjasama di dalamnya, tentu segala bentuk aturan dan kebijakannya mengikat. Sehingga tak bisa dipungkiri apapun kebijakan Indonesia harus sesuai aturannya. Contoh nyata dalam impor daging ayam Brasil ini.
Pemerintah mengakui jika kondisi produksi dalam negeri surplus, namun karena terikat aturan WTO, maka bayang-bayang impor daging ayam Brasil terus menghantui. Meski negosiasi diusahakan, namun ancaman persaingan pasar menjadikan masyarakat mawas diri. Hal itu akan menunjukkan jika negara gagal mandiri.
Kemandirian Negara dan Sistem Islam
Agar terbebas dari jerat aturan organisasi dunia, maka dibutuhkan keberanian untuk terlepas darinya. Sebab sebuah negara dalam sitem Islam adalah negara yang mandiri. Segala bentuk kekuatan dan kebijakannya adalah murni dari pemerintahannya. Tidak ada campur tangan asing, apalagi dari negara penjajah seperti Amerika.
Negara yang berasas Islam akan memiliki ketegasan dan keberanian untuk memutuskan kerjasama perdagangan bebas tersebut. Sehingga negara akan mampu mengatur perdangan dalam negeri, tanpa diatur atau campur tangan negara lain.
Kerjasama antar negara dalam Islam adalah berdasarkan syariat Allah SWT semata. Yaitu, mengharamkan kerjasama dengan negara yang memusuhi Islam. Sedangkan dengan negara yang tidak memusuhi, maka boleh melakukan kerjasama atau dengan perjanjian tertentu. Dengan demikian, segala kebijakan dalam negeri tidak disetir atau terikat oleh negara lain.
Dalam kasus impor ini pun negara yang berasas Islam akan tegas mengambil sikap. Jika memang dalam negeri surplus, maka akan tegas menolak impor. Selain itu negara juga akan memaksimalkan produksi dalam negeri agar masyarakat dimudahkan dan peternak diuntungkan.
Negara akan memfasilitasi peternak bagaimana agar tercipta produksi yang optimal dan maksimal. Mulai dari bibit, pakan, mekanisme perawatan hingga siap jual dipasar, semua akan mendapat perhatian yang layak dari negara. Produksi pun mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, dengan harga menguntungkan peternak, namun tidak mencekik masyarakat. Sehingga negara mandiri, tanpa disetir dan rakyat tak akan kocar-kacir.
Sebab, seorang pemimpin dalam Islam akan menjalankan amanahnya sesuai syariat. Dia akan melindungi, mengayomi dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya, sebagai ketundukan terhadap perintah Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atasnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]