Sekularisme-Liberalisme Akar Masalah Penistaan Agama
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Lensa Media News – Rasulullah SAW menegaskan, “Rantai kerasulan dan kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku“. (Tirmidzi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).
Lagi, penistaan terhadap agama Islam terjadi. Kali ini ada seseorang bernama Joseph Paul Zhang mengaku sebagai nabi ke-26. Bahkan, Jozeph menantang siapa saja yang bisa melaporkannya ke pihak yang berwajib akan diberikan hadiah Rp 1 juta per orang. Lebih dari itu, Jozeph mengatakan bahwa nabi ke-25 yaitu Baginda Nabi Saw. ialah seorang yang cabul (Inews.id, 17/04/21).
Nampaknya, penistaan terhadap agama (Islam) khususnya akan terus terjadi dan berulang selama aturan yang diterapkan bukan aturan Islam. Pasalnya, aturan yang sekarang diterapkan di negeri ini adalah sekularisme-liberalisme. Liberalisme atau ide kebebasan yang ada banyak membuat kerusakan, di antaranya kebebasan berpendapat membuat orang bebas mengatakan apa saja walaupun isinya sebuah penistaan terhadap ajaran agama lain, khususnya Islam.
Sekularisme-Liberalisme Akar Masalah Penistaan
Terkadang, sedikit saja merasa dinistakan umat di luar Islam, isu menjadi besar dan umat Islam selalu menjadi pihak tertuduh. Entah kenapa, pihak yang berwajib dan pemerintah begitu sigap meresponnya. Berbeda jauh ketika ajaran Islam yang dinistakan bahkan sudah sangat jelas jenis penistaannya, aparat dan pemerintah lamban meresponnya. Padahal, orang nomor satu di negeri ini beragama Islam, aparat dan warga di Indonesia mayoritas muslim.
Hukum yang ada tidak tegas, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Selain itu, hukum begitu tajam bagi umat Islam terutama para pejuang Islam. Begitu mudah menangkap dan memasukkan ke bui bagi para aktivis Islam dengan berbagai delik walau belum jelas kesalahannya. Sebaliknya, para penista yang sudah jelas kesalahannya tidak segera diproses secara hukum karena mereka berlindung di balik kebebasan.
Penistaan ini hanya akan berakhir jika aturan yang dipakai di negeri ini diubah dengan aturan Sang Pencipta langit, bumi dan seisinya. Karena hanya Dia yang tahu mana yang terbaik untuk semua ciptaan-Nya. Aturan yang ada yaitu sekularisme-liberalisme harus segera dicampakkan karena hanya akan merusak dan pangkal kerusakan.
Islam Tegas pada Penista
Dalam Islam, semua warga negara dilindungi baik muslim maupun kafir dzimmy. Akidah dan ibadah kafir dzimmy diperbolehkan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Bahkan, Rasulullah bersabda,
“Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun” (HR Ahmad).
Sepanjang sejarah Islam diterapkan sebagai sebuah negara selama berabad-abad, kafir dzimmy merasa nyaman, aman, dan tenteram tak pernah merasa tertindas.
Seorang sejarawan Barat, TW Arnold mengatakan, ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453 Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya.
Masih banyak sejarawan Barat yang jujur pada sejarah penerapan Islam di dunia. Mengakui bahwa Islam sangat menjaga kafir dzimmy, diperlakukan sama seperti muslim. Namun, perlakukan Islam terhadap kafir harbi memang berbeda. Kafir harbi adalah kafir yang layak untuk diperangi, karena mereka tidak mau patuh pada aturan Islam ketika Islam sudah menawarkannya dengan damai terlebih dahulu.
Islam memiliki sanksi yang tegas, sehingga ketika ada warga negara yang hendak bermaksiat akan berpikir ulang beberapa kali. Terkait penistaan terhadap Nabi Saw., bagi seorang muslim hukumnya jelas haram dan pelakunya dinyatakan kafir. Sanksi bagi si pelaku adalah hukuman mati.
Ibn Mundzir menyatakan, bahwa mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi SAW adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafii (Lihat, al-Qadhi ‘Iyadh, as-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hal. 428).
Adapun, jika pelakunya kafir dzimmy, maka perjanjian dengan mereka otomatis batal, pelakunya diberlakukan hukuman mati. Kecuali, menurut sebagian fuqaha, jika mereka masuk Islam. Dalam Islam, keputusan ada di tangan khalifah, apakah keislamannya bisa diterima atau tetap diberlakukan hukuman mati sebagai pelajaran bagi orang-orang kafir yang lain.
Bagi kafir harbiy, yang melakukan pelecehan terhadap Rasulullah SAW akan diperangi. Begitu luar biasa Islam memiliki aturan yang sempurna, tak ada aturan yang lebih baik dari Islam (QS. Al Maidah: 50). Maka, sebuah kebodohan dan kesesatan yang nyata jika masih mencari dan menerapkan aturan selain Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]