Viral. Siswi nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang diberitakan dipaksa berkerudung yang akhirnya melahirkan narasi intoleransi di sekolah. Padahal, sebagai klarifikasi, Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi mengatakan bahwa tidak demikian. Rusmadi mengakui bahwa 46 siswi nonmuslim yang berada di sekolah tersebut memang diminta mengenakan kerudung dalam aktivitas sehari-hari di sekolah, kecuali Jeni, seorang siswi nonmuslim yang memprotes kebijakan tersebut.

 

Di sana, Senin hingga Kamis, anak-anak tetap menggunakan kerudung walaupun nonmuslim. Rusmadi lantas menegaskan pihak sekolah tak pernah melakukan paksaan apa pun terkait pakaian seragam bagi nonmuslim. Dia menyebut, para siswi nonmuslim di SMK tersebut memakai kerudung atas keinginan sendiri.

 

Bahkan, dalam kegiatan-kegiatan keagamaan (Islam) yang mereka adakan, anak-anak nonmuslim juga datang, walaupun sudah didispensasi untuk tidak datang. Artinya, anak-anak tersebut selama ini nyaman menjalaninya dan selama ini tidak ada gejolak (Detik.com, 23/01/2021).

 

Menyikapi hal ini, rasanya terlalu prematur jika langsung menjatuhkan vonis intoleransi seperti yang banyak beredar di masyarakat. Sebab, standar toleransi dalam kacamata sekularisme dan syariat jelas berbeda. Sekularisme menganggap bahwa toleransi dimanifestasikan dengan jalan ikut-ikutan perayaan agama tertentu, baik dari sisi ucapan maupun perbuatan. Sementara, dalam syariat, toleransi adalah membiarkan orang lain menjalankan kepercayaannya tanpa diganggu. Apa yang terjadi pada siswi di Padang itu sekali-kali bukan bentuk pemaksaan. Buktinya, teman-temannya yang nonmuslim lain tidak protes.

 

Selain itu, media terlalu berlebihan mengekspos berita ini. Ada indikasi kuat terkait inkonsistensi pembelaan. Bandingkan dengan kasus yang menimpa Anita Wardhana, siswi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Denpasar, Bali pada tahun 2014 lalu. Ia dilarang menggunakan kerudung saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Anita menolak larangan tersebut dan pihak sekolah pun memberi pilihan kepada siswi kelas XI itu untuk lepas jilbab atau pindah sekolah. Padahal, Anita hanya berusaha menjalankan kepercayaan agamanya. Menggunakan haknya dalam beragama. Di mana letak kesalahannya?

 

Itulah mengapa, penting untuk memahami duduk persoalan yang sebenarnya secara netral sebelum menjatuhkan vonis. Sebab, dewasa ini, isu radikalisme dan intoleransi merupakan titik sensitif yang mudah menyulut api perpecahan jika tidak disikapi dengan bijak. Wallahua’lam. [Ah/LM]

Ilmi Mumtahanah
(Konawe, Sulawesi Tenggara)

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis