Mampukah RUU-PKS Menangkal Kekerasan Seksual?
Oleh: Fitri Al Hasyim
(Aktivis Muslimah Tebing Tinggi)
Lensa Media News – Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini menyambut baik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Sebab, RUU PKS tersebut sudah diusulkan sejak tahun 2012 lalu. Ia berharap DPR menetapkan RUU-PKS sebagai RUU inisiatif seperti halnya RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (Jum’at, detiknews.com,16/1/2021).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati juga menyatakan bahwa pengesahan RUU PKS tidak bisa ditunda lagi (kompas.com, 15/01/2021). Mengingat meningkatnya kasus kekerasan selama pandemi Covid-19 yang tak juga surut. Ada sebanyak 4.849 orang mengalami kekerasan seksual di tahun 2020 lalu.
Hal ini juga diperkuat dengan data laporan dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA), angkanya justru lebih tinggi. Selama 2020, menunjukkan ada 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 orang.
Atas dasar inilah mereka berharap RUU PKS perlu untuk segera disahkan agar generasi selanjutnya dapat terlindungi. Terutama dengan adanya sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang berpihak pada korban. Namun, apakah demikian? Mampukah RUU-PKS ini menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual ini?
Banyak pihak mengkritisi hal tersebut, salah satunya Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Euis Sunarti. Beliau menyebutkan RUU-PKS seolah tidak memikirkan dampak yang akan ditimbulkan dalam hubungan keluarga. Prof. Euis Sunarti juga menyebutkan apabila RUU PKS ini disahkan, seorang anak yang tidak terima untuk diminta menutup aurat oleh orang tua mereka. Bisa menuntut orang tuanya (detiknews.com, 14/02/2019).
Prof. Euis Sunarti juga menyebutkan, ruh dari RUU-PKS adalah semangat sekularisme karena di dalam pasal itu tidak mengenali agama, bahkan memisahkan kehidupan beragama dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, RUU-PKS menegasikan falsafah dan nilai agama dalam kehidupan. RUU-PKS hanya berisi peraturan soal kekerasan seksual, namun tidak mengatur soal penyimpangan dan kejahatan seksual.
Ia akan berpotensi membiarkan segala penyimpangan seksual dan kejahatan seksual selama ada dasar suka sama suka dan tanpa ada kekerasan di dalamnya. Apa pun itu, baik perzinaan, perselingkuhan, LGBT, dll. Na’udzubillah. Masalah kekerasan seksual sudah menjadi masalah global.
Pentingnya legislasi RUU-PKS, sejatinya adalah buah keprihatinan terhadap peningkatan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dan perempuan. Hal ini tidak bisa dianggap sepele apalagi diabaikan. Namun, jika dikaji dalam kacamata Islam politik, justru RUU ini mengandung unsur sekularisasi dan liberalisasi. Yang justru malah menjerumuskan manusia ke dalam jurang kemaksiatan dengan bertopengkan “kebebasan ekspresi”.
Solusi dalam Islam
Islam memberikan solusi terkait masalah ini dengan menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dll.). Hal ini hanya akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah yaitu Daulah Khilafah Islamiah, bukan institusi sekuler liberal. Wallahu a’lam bish-shawwab. [LM]