Solusi Covid-19, Mulai Sosial Distancing Hingga Vaksin
Oleh : Yulweri Vovi Safitria
(Muslimah Penulis Peradaban)
Lensa Media News – Pandemi covid-19 belum juga usai. Sejak mewabah pada akhir Desember tahun lalu di Wuhan, China dan mewabah di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, belum jua menemukan titik terang. Di Indonesia, berbagai aturan silih berganti diterapkan mulai social distancing hingga PSBB, untuk meredam penyebaran virus berbahaya ini, tapi nyatanya tidak cukup ampuh menekan laju penyebarannya.
Hingga saat ini, jumlah kasusnya terus meningkat di angka 828.026 orang terhitung sejak pengumuman pasien pertama pada 2 Maret 2020 (Kompas.com, 10/1/2021).
Pemerintah Indonesia dan negara-negara di dunia kemudian berupaya menghadirkan vaksin covid-19, serta merencanakan program imunisasi untuk melindungi rakyat. Dengan harapan bahwa vaksin dapat mencegah dan menjaga kekebalan tubuh dari infeksi virus yang mematikan ini, serta mengurangi tingkat penyebarannya.
Menurut Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, kehadiran vaksin covid-19 hanya merupakan salah satu cara untuk menangani pandemi covid-19, sehingga tidak tepat menjadikan vaksin sebagai senjata pamungkas mengendalikan virus.
Ia menambahkan, pencegahan primer tetap dengan 3T (Tracing, Testing, Treatment) dan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) (tempo.co ,19/12/2020).
Vaksin dalam Kacamata Islam
Vaksin merupakan salah satu ikhtiar pengobatan dalam mencegah suatu penyakit. Pada seorang individu, hukum pengobatan adalah sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “ Wahai hamba Allah, carilah pengobatan, sesungguhnya Allah tidak menurunkan sebuah penyakit, melainkan juga ada obatnya, kecuali tua.” (HR. at-Tirmidzi).
Namun, seseorang dibolehkan menolak pengobatan dalam rangka menahan sakit dan memilih sabar atas ketentuan-Nya, serta berharap Allah ridha dan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Dalam sahih Bukhari dan Muslim, dari Ata’ ibn Abi Rabah meriwayatkan : Ibnu Abbas ,bahwa ada seorang perempuan berkulit hitam yang datang menemui Rasulullah dan perempuan itu berkata, “Sungguh, aku menderita penyakit ayan dan auratku terbuka karenanya, mohonlah doa pada Allah untukku, lalu Rasullullah bersabda “Jika engkau bersabar, maka bagimu surga atau jika engkau mau, aku akan berdoa pada Allah untuk menyembuhkanmu. Perempuan itu berkata, “Aku akan bersabar, namun mohonkanlah pada Allah agar auratku tidak terbuka.” Lalu Rasulullah berdoa untuknya.”
Vaksin bukanlah pengobatan yang asing dalam Islam. Pada masa pemerintahan Turki Utsmani, telah dilakukan vaksin cacar, yang pada waktu itu merupakan virus yang mematikan.
Terkait vaksin, tidak hanya sebagai ikhtiar pengobatan, Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk memastikan bahwa vaksin tersebut terjamin keamanannya juga kehalalannya. Sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Lagi-lagi, solusi karantina dan mencegah perjalanan dari wilayah terdampak wabah ke wilayah lain tetaplah menjadi prioritas, sebagaimana Islam mengaturnya. Tidak hanya itu, pendekatan personal juga diperlukan terhadap individu yang tertular covid-19, agar mereka memiliki kesadaran sendiri untuk melakukan karantina mandiri.
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan: Rasulullah bersabda, “Janganlah membahayakan diri sendiri atau orang lain. Barangsiapa yang membahayakan orang lain, Allah akan membahayakan dirinya. Barangsiapa yang kasar dengan orang lain, Allah akan kasar denganya.”
Lantas, Bagaimana Fakta Saat Ini?
Ketika aturan Islam dipisahkan dari kehidupan, umat seperti anak ayam kehilangan induk. Entah siapa yang patut dipercaya. Segala sesuatunya berjalan sesuai kepentingan. Siapa pemilik modal, dialah yang berkuasa, rakyat yang tidak punya apa-apa tidak bisa berharap banyak.
Berbagai teori konspirasi terlihat. Pun, kompromi bisnis para pemodal di tengah duka lara masyarakat bawah akibat wabah, pemutusan hubungan kerja, hingga kesulitan ekonomi. Hal tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan di benak publik, apakah vaksin adalah murni untuk kesehatan rakyat ataukah untuk kepentingan koorporasi?
Lantas, kepada siapa masyarakat harus menitipkan rasa kepercayaannya?
Ya, seyogyanya masyarakat harus mempercayai pemerintah untuk mengurusi mereka, tanpa ada rasa khawatir, bahwa pemerintah akan tertarik pada profit dan keuntungan korporasi.
Namun, di sisi lain, mempercayai secara utuh juga amat sulit, banyak hal yang menimbulkan kekecewaaan di hati masyarakat, seperti korupsi di tengah pandemi, sungguh merupakan hal yang tidak bisa dinalar akal sehat.
Namun demikian, meski wajah dunia didominasi kapitalisme, masih banyak terdapat professional medis dan ilmuan yang independen. Yang bekerja lillah. Dan pada akhirnya, kepada Allah saja kita menggantungkan harapan, berharap kesembuhan dan diangkat-Nya wabah dari negeri tercinta.
Wallahu’alam bish shawab.
[ry/LM]