Relokasi ke Pulau Tak Layak Huni, Kemana Hati Nurani?
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Penderitaan muslim Rohingya masih belum berakhir juga. Setelah terombang-ambing di lautan, hidup di kamp-kamp pengungsian tanpa kepastian. Kini demi alasan mengurangi kepadatan di kamp pengungsian, mereka harus rela direlokasi. Sayangnya bukan ke tempat layak huni yang memiliki fasilitas memadai. Namun, ke pulau yang lebih mirip tempat pembuangan untuk menantikan eksekusi. Bhasan Char.
Pulau Bhasan Char adalah pulau yang terbentuk alami oleh lumpur Himalaya. Letaknya di Teluk Benggala, kurang lebih 60 km dari daratan. Menurut kelompok-kelompok HAM, pulau tersebut rentan terhadap bencana alam dan tidak cocok untuk pemukiman manusia. Meski begitu rencana relokasi pengungsi Rohingya tetap dilakukan. Ribuan pengungsi sedang diproses untuk dipindahkan ke Bhasan Car.
Amnesty Internasional merilis laporan tentang kondisi yang dihadapi oleh 306 pengungsi Rohingya yang sudah tinggal di pulau itu. Laporan tersebut berisi dugaan tentang kondisi tidak higienis dalam ruangan sempit, terbatasnya fasilitas makanan dan perawatan kesehatan, kurangnya telepon agar pengungsi dapat menghubungi keluarga mereka, serta kasus pelecehan seksual oleh TNI AL dan pekerja lokal yang melakukan pemerasan (viva.co.id, 06/12/2020).
Menteri luar negeri Bangladesh A.K Abdul Momen, Kamis (03/12), menyatakan bahwa tidak ada pengungsi yang dipaksa pindah ke Bhasan Car (news.okezone.com, 05/12/2020). Lain pernyataan Menteri Luar Negeri Bangladesh, lain pula pernyataan pengungsi Rohingya. Kepada BBC pada bulan Oktober lalu pengungsi Rohingya menyatakan tidak ingin dipindahkan ke pulau itu (viva.co.id, 06/12/2020). Dari dua belas keluarga yang telah diwawancarai pegiat HAM, mereka menyatakan tidak secara sukarela untuk pergi. Mereka yang diwawancarai merupakan pengungsi yang namanya masuk ke dalam daftar pengungsi yang dipindahkan.
Bantuan terhadap pengungsi Rohingnya tidak mungkin bisa dilakukan oleh individu atau kelompok saja. Buktinya, sekelas PBB, UNHCR, dan HRW tidak mampu menghentikan kesewenang-wenangan yang ada. Lembaga-lembaga dunia yang ada tak lebih dari penghasil konvensi yang minim solusi. Bertahun-tahun lamanya masalah Rohingya tak kunjung terselesaikan. Padahal ancaman terhadap nyawa mereka begitu jelas di depan mata.
Seharusnya kondisi semacam ini bisa dicegah dan dihentikan secara tuntas. Bukan diminta menunggu hingga satu persatu dari mereka meregang nyawa, kemudian turut berduka secara mendalam dan melempar kutukan yang tidak memberikan perubahan. Mereka manusia yang berhak hidup, berhak mendapatkan keamanan dan perlindungan. Namun, hak-hak mereka direnggut secara paksa, sedangkan negara yang merenggut justru bebas dari dakwa.
Kaum muslim diumpamakan sebagai satu tubuh. Apabila ada bagian tubuh yang sakit, maka bagian tubuh yang lain turut merasakan. Sayangnya gambaran ukhuwah yang begitu indah digambarkan tidak bisa diwujudkan melalui negara bangsa (nation state). Seberapa besar pun keinginan untuk memudahkan saudara yang lain, justru terhambat oleh alasan diplomatik dan kebijakan negara. Apalagi jika kepala negara muslim justru ikut diam saja.
Masalah pengungsi Rohingnya jelas tidak bisa diselesaikan melalui lembaga-lembaga maupun negara yang menjadikan akal manusia sebagai aturan. Dibutuhkan solusi yang konkrit, yaitu sebuah aturan yang bisa memanusiakan manusia. Ialah Islam yang datang dari Sang Pencipta Alam. Datang membawa solusi tuntas bagi kehidupan. Negara yang menerapkan syariat Islam akan memberikan jaminan kehidupan bagi manusia yang tunduk di bawah aturannya. Solusi nyata itu hanya bisa diwujudkan ketika syariat Islam telah diterapkan secara sempurna dalam bernegara.
Kepala negara berperan sebagai pengurus umat yang wajib menjalankan perannya. Seluruh pelayanan diberikan secara adil tanpa memandang miskin maupun kaya. Rasulullah SAW. bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari).
Negara dalam Islam wajib memberikan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan papan bagi warganya. Begitu pula wajib menjamin ketersediaan pendidikan dan kesehatan yang layak. Serta wajib memberikan jaminan keamanan. Hanya melalui khilafah Islamiyah, keindahan ukhuwah bisa diwujudkan. Karena khilafah telah terbukti secara nyata pernah menyatukan berbagai suku, bangsa, ras, bahasa, dan agama di bawah satu kepemimpinan selama lebih dari tiga belas abad lamanya.
Hanya dengan syariat Islam, manusia benar-benar bisa dimanusiakan, diurusi, dan diberikan hak-haknya. Bukan sekadar konvensi seperti yang dihasilkan lembaga-lembaga dunia yang ada saat ini. Maka, sudah seharusnya kita kembali pada syariat Islam untuk mengurusi kehidupan, baik secara individu, masyarakat maupun negara.
Wallahua’lambishshawab.
[lnr/LM]