Omnibus Law Mengusik Standar Halal
Undang-undang (UU) “sapu jagat” (Omnibus Law) yang telah menuai polemik dalam permasalahan tenaga kerja, agraria dan lainnya, ternyata mengusik jaminan atau sertifikasi halal yang isinya merugikan mayoritas masyarakat Muslim di negeri ini. Betapa tidak, sertifikasi halal yang sebelumnya hanya bisa dikeluarkan oleh MUI, sekarang bisa dikeluarkan oleh BPJHP (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), ormas-ormas Islam dan Perguruan tinggi.
Rakyat yang mayoritas Islam ini tentu saja merasa terancam akan UU ini, karena mereka khawatir atau was-was akan kehalalan produk yang akan dikonsumsi. Karena sertifikasi halal ini adalah upaya untuk menghindari produk yang haram dikonsumsi.
MUI mengeluarkan sertifikasi halal dengan jangka waktu berkisar 90-100 hari, tapi dengan adanya UU ini, sertifikasi halal menjadi maksimal 7 hari, bahkan BPJPH bisa mengeluarkan paling lama 1 hari.
Ternyata di balik UU Omnibus Law tentang dimudahkannya sertifikasi halal ini, pemerintah bertujuan untuk memudahkan para pengusaha memuluskan peluncuran produknya, dan tujuan lainnya adalah untuk tercapainya rencana target pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH), sehingga Indonesia menjadi penghasil produk halal terbesar di dunia.
Inilah watak asli kapitalis yang mengorbankan syariat hanya untuk kepentingan investasi. Padahal Islam selalu menjadikan syariat sebagai perhatian utama dalam mengambil kebijakan dan kemaslahatan umat sebagai pertimbangan.
Sertifikasi halal pun diberikan tanpa dipungut biaya, sehingga tidak jadi ajang bisnis. Islam akan mensterilkan barang haram dari pasar agar masyarakat tidak khawatir akan produk yang akan dikonsumsi.
Masihkah kita mau mempertahankan sistem demokrasi ini? Dimana masalah yang vital saja tentang kehalalan produk yang dikonsumsi oleh kita, malah dijadikan ajang bisnis, sehingga tidak lagi mengikuti syariat Islam.
Fenti Farida
[hw/LM]