Akhir Bagi Covid-19
Kecemasan melanda. Prahara Covid-19 belum akan usai. Semisal pasukan hendak berperang, namun tanpa dibekali informasi utuh tentang lawannya, gamang. Komandannya pun buta tuli. Lantas, bagaimana bisa mencapai kemenangan. Begitulah analogi bagi penyikapan upaya penanganan wabah di negeri ini.
Ibarat buah simalakama, penguasa dibuat kebingungan dalam melindungi rakyatnya. Hanya ada dua pilihan yaitu mati kelaparan akibat lockdown atau mati karena terpapar wabah.
Ujian Covid-19 ini, menelanjangi kegagalan sistem kapitalis-sekuler dalam mengelola kehidupan. Sistem yang melestarikan kerakusan para kapital dan telah menghilangkan akal sehat pengampu kebijakan.
Faktanya, pintu bagi WNA masih terbuka lebar, mall-mall dan objek-objek wisata kembali dibuka. Lockdown total urung dilakukan guna mencegah penularan. Malah memilih “New Normal”. Ketidaktegasan kebijakan tersebut yang telah mengondisikan masyarakat menjadi semakin abai, seolah tidak terjadi apa-apa.
Akibatnya saat ini penularan covid-19 semakin masif. Tidak hanya menginfeksi masyarakat umum, namun juga para pejabat yang memiliki standar pengaman yang lebih ketat. Santer diberitakan, baik pejabat pusat ataupun daerah telah terdeteksi positif covid-19, seperti Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Ketua KPU Pusat dan Bupati Aceh Barat.
Tidak sepatutnya negeri yang kaya raya ini gamang menghadapi covid-19. Seandainya dalam pengelolaan SDA dikembalikan kepada Alquran dan Sunnah. Sebagaimana Rasulullah Saw. telah bersabda: “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah).
Dengan aturan Pencipta, harta rakyat selamat. Kebijakan ditetapkan bernapaskan syariat, menepis keraguan. Lockdown total sebagai solusi syariat Islam akan wabah, niscaya untuk diterapkan.
Tak lagi cemas akan terancam kelaparan. Semua telah ditetapkan dengan garis yang sangat tegas. Tanpa kebingungan, karena bersandar pada aturan yang benar. Sehingga masalah wabah berakhir bahkan berbuah pahala.
Shafiyyah
(Muslimah Indramayu)
[ln/LM]