Narasi Radikalisme Booming lewat Labelisasi Good Looking
Oleh: Nurhaniu Ode Hamusa, A. Md. Keb.
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Sedari awal dilantik, pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi cenderung selalu menimbulkan pertentangan. Yang terbaru soal pernyataan good looking atau yang berpenampilan menarik sampai hafiz al-Qur’an. Sontak pernyataan Menag ini menuai polemik di masyarakat.
Seperti yang diungkapkan Komisi VIII DPR, mereka menilai pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi soal radikalisme yang masuk melalui anak good looking hingga hafiz al-Qur’an tak sepenuhnya tepat. Komisi VIII menyarankan Fachrul mempelajari secara komprehensif soal cara penyebaran paham radikal.
Senada, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Menag Fachrul Razi menarik ucapannya terkait paham radikal masuk melalui orang berpenampilan menarik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang baik. MUI menilai pernyataan Fachrul itu sangat menyakitkan (Detik.com, 04/09/2020).
Sebagai muslim tentu merasa tersakiti saat agamanya dijadikan sebagai salah satu sumber radikalisme, lebih sakit lagi ketika yang melakukan ujaran tersebut adalah Menag. Padahal, sebaiknya sebagai seorang muslim seharusnya menjadi pelindung sekaligus pengayom. Apa jadinya jika penguasa yang diamanahkan untuk menjadi pembela, justru di luar nalar dan tidak sesuai dengan harapan umat?
Hembusan isu radikalisme juga kian kencang meski oposisi sudah menyatu dalam koalisi bersama penguasa. Seakan bangsa ini darurat dalam kepungan kelompok radikal. Ini pun bermula saat diumumkannya nama-nama menteri di kabinet Indonesia maju jilid 2. Termasuk menteri agama yang menjadi jatah NU yang kini dijabat purnawirawan tentara sebagai upaya serius melawan radikalisme.
Sebenarnya, terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme, awalnya berasal dari bahasa Latin radix, radices, yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Berpikir secara radikal artinya berpikir hingga ke akar-akarnya. Hal ini yang kemudian besar kemungkinan akan menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21).
Selain itu, menurut The Concise Oxfort Dictionary (1987), radikal berarti akar, atau asal mula. Dalam kamus Oxford ini disebutkan istilah radikal, kalau dikaitkan dengan perubahan atau tindakan, berarti relating to or affecting the fundamental nature of something; far-reachine or through (berhubungan atau yang mempengaruhi sifat dasar dari sesuatu yang jauh jangkauannya dan menyeluruh).
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir dan bertindak. Dalam pengertian yang lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok dan esensial.
Berdasarkan konotasi yang luas, kata radikal mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial. Bahkan, dalam ilmu kimia dikenal dengan istilah radikal bebas. Sedangkan istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. Th.1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Di sisi lain, menurut Simon Tormey, dalam International Encyclopedia of Social Sciences (V/48), radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan posisional. Dalam hal ini, kehadirannya merupakan antitesis dari ortodoksi atau arus utama (mainstream) baik bersifat sosial, sekuler, saintifik maupun keagamaan.
Oleh karena itu, dari sisi bahasa istilah radikal sebenarnya istilah yang netral, bisa positif bisa negatif. Namun, kini istilah radikalisme dimaknai lebih sempit sehingga memunculkan idiom-idiom seperti “radikalisme agama”, “Islam radikal”, dan lain-lain. Semuanya cenderung berkonotasi negatif pada Islam. Ini tentu patut disayangkan. Pasalnya, kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik.
Penggunaan istilah “Islam radikal” pun sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis (hanya merujuk pada teks) dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikalisme dipandang negatif oleh rezim seolah yang berbau Islam langsung dianggap radikal. Bukan hanya ajarannya saja tapi juga orangnya hingga ormas yang memperjuangkan Islam langsung dituduh sebagai radikal.
Dengan demikian, sebaiknya para pejabat berwenang sebelum menyampaikan sesuatu harus berhati-hati, agar tidak menimbulkan hal-hal yang kontroversial di masyarakat dan menyakiti hati umat. Karena sejatinya pemimpin adalah pengurus urusan umat yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [ry/LM]