Ngotot Pilkada Meski Nyawa Rakyat Taruhannya, Gilanya Demokrasi Demi Tetap Berkuasa
Oleh : Mukhy Ummu Ibrahim
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Lensa Media News – Pandemi virus Corona penyebab Covid-19 yang mendunia masih belum mereda. Penyebarannya kian hari kian meluas dan seolah tak ada habisnya. Begitu pun di negara kita. Kasus Covid-19 telah mencapai angka 244 ribu. Rekor jumlah kasus harian pun terus bertambah hingga mencapai 4000 kasus per hari.
Hal tersebut tentu menunjukkan semakin masifnya penyebaran virus ini di negara kita. Berbulan-bulan semenjak kasus pertama ditemukan di Indonesia, nyatanya pemerintah kita masih saja ‘gelagapan’ dalam menghadapi wabah yang cukup mematikan ini. Belum ada satupun solusi jitu yang dapat mengatasi wabah yang telah menelan korban nyaris 1 juta jiwa di seluruh dunia ini.
Di saat masyarakat begitu berharap akan adanya solusi yang solutif dan komprehensif dari pemerintah, justru pemerintah bertindak sebaliknya. Kebijakan kontraproduktif terus saja dikeluarkan. Alasannya adalah demi ekonomi.
Penolakan opsi lockdown wilayah yang menjadi sumber wabah, tetap membuka bandara, hingga opsi memberlakukan era new normal serta membuka ekonomi bahkan mempromosikan pariwisata, jelas menjadi upaya yang kontra dengan upaya menekan laju penyebaran Corona. Terbukti dengan semakin besarnya jumlah kasus infeksi Corona di seluruh Indonesia.
Jelas ini sangat membahayakan keselamatan warga. Namun, lagi-lagi dalih pemerintah adalah demi ekonomi agar tidak semakin minus pertumbuhannya. Padahal resiko yang harus ditanggung tentu tak sebading dengan rupiah yang didapat. Sebab saat nyawa yang jadi taruhan, materi sebesar apapun tentu tak akan pernah sebanding dengannya.
Saat harapan akan solusi wabah yang nyaris sirna, pemerintah justru bersikeras untuk tetap menyelenggarakan Pilkada. Padahal penyelenggaraan Pilkada jelas akan ikut andil dalam peningkatan kasus Corona. Pilkada akan memicu terjadinya kerumunan yang sangat rentan menjadi kluster Covid-19 yang semakin bermunculan.
Pada masa sosialisasi dan pendaftaran calon pun sudah nyata terjadinya aneka pelanggaran. Dapat dibayangkan bagaimana nanti saat proses kampanye dan saat Pilkada benar-benar dilaksanakan.
Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari menyatakan Pilkada yang akan dilaksanakan 9 Desember nanti bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Berdasarkan simulasi, Pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik sesuai dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dengan tingkat partisipasi 77,5% dan ada 106 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT), maka kerumunan tersebut akan melibatkan 82,15 juta orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19%, maka potensi orang yang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada hari “H” mencapai 15,6 juta orang. (beritasatu.com, 14/9/2020)
Oleh karena itu, dalam diskusi “Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia” yang diselenggarakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), Sabtu (12/9/2020), usulan agar Pilkada dapat ditunda pelaksanaannya hingga tahun depan pun mengemuka.
Namun, sungguh disayangkan, usulan ini agaknya sulit direalisasikan. Menko Polhukam Mahfud Md pun menyatakan jika penundaan ini sulit diwujudkan karena beberapa alasan. Penundaan Pilkada membutuhkan UU dan Perppu yang tidak mungkin dapat dibuat dalam waktu singkat. Penundaan ini juga nantinya mengakibatkan munculnya banyak pejabat pelaksana tugas (Plt) di beberapa pemerintahan daerah. Demikian pernyataan Mahfud dalam forum diskusi yang sama. (makassarterkini.id, 13/9/2020)
Meski opini penundaan Pilkada telah menjadi aspirasi banyak elemen bangsa, nyatanya pemerintah tetap menolak opsi ini dan akan tetap menyelenggarakan Pilkada 9 Desember apapun resikonya. Dalih akan sulit dan berbelitnya pembuatan aturan jika Pilkada ditunda sejatinya menjadi bukti betapa demokrasi adalah sistem yang tidak hanya berbiaya mahal tetapi juga penuh dengan birokrasi yang rumit dan tidak aplikatif.
Belum lagi fakta bahwa sistem demokrasi mengabaikan kesehatan dan berfokus pada melanggengkan kekuasaan. Pemerintah yang bersikeras menyelenggarakan Pilkada meski pandemi belum reda, menjadi bukti bahwa pemilihan dalam demokrasi sama sekali bukan demi rakyatnya. Akan tetapi, demi melanggengkan kuasa dengan merebut tahta.
Semakin cepat kekuasaan diraih, semakin cepat pula tujuan-tujuan mereka dapat terlaksana. Oleh karena itu, semakin cepat Pilkada dilaksanakan tentu makin baik bagi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Pilkada memang salah satu instrumen penting dalam demokrasi. Keberadaannya menjadi amat vital demi dapat berkuasanya para kapital. Demi melancarkan tiap kebijakan yang akan menguntungkan mereka yang punya modal. Demokrasi untuk rakyat pun kini hanya semboyan ‘abal-abal’.
Pilkada memang perpanjangan tangan demokrasi untuk menempatkan pion-pion-nya di wilayah strategis mereka. Agar dapat mengokohkan dukungan pada rezim yang berkuasa. Ia merupakan bagian dari demokrasi yang akan dijaga kelangsungannya. Bahkan dipaksa tetap ada meski pandemi masih melanda. Hingga rakyatlah yang harus bertaruh nyawa demi terlampiaskannya nafsu berkuasa para penguasa.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ra/LM]