Benarkah Salah Berucap Bisa Membuat Karir Politik Tamat?

Oleh: Kunthi Mandasari

(Pegiat Literasi) 

 

Lensa Media News – Ada pepatah yang mengatakan: Mulutmu Harimaumu. Pepatah yang menjelaskan untuk kita agar selalu menjaga lisan. Berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Karena dampak dari perkataan bisa berbuntut panjang. Seperti perkataan salah satu petinggi partai yang mengatakan, “semoga Sumbar menjadi Provinsi yang mendukung Pancasila.”

Sontak, pernyataan tersebut melukai perasaan masyarakat Sumbar. Ada banyak orang yang menyayangkan ucapan tersebut. Apalagi selain menjadi petinggi partai, beliau merupakan ketua DPR. Tidak sepatutnya ucapan tersebut dilontarkan. Meski ucapannya berbuah polemik, sampai saat ini belum ada permohonan maaf yang disampaikan. Justru kampanye ‘Puan berdarah Minang’ gencar disuarakan oleh anggota sesama partai tempat bernaung. Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, sikap PDIP seperti itu justru akan membuat persoalan ini akan berlarut-larut. “Ini bisa berkepanjangan polemiknya. Kan pilkada-nya aja Desember. Pasti digoreng terus sampai pilkada,” ulasnya, saat dihubungi Rakyat Merdeka, tadi malam (wartaekonomi.co.id, 05/09/2020).

Sejumlah kader yang bernaung di partai yang sama berbondong-bondong memberikan klarifikasi. Memberikan alasan munculnya statment tersebut karena narasi PDIP anti agama yang berkembang di Sumbar. Bagaimanapun suasana menjelang pemilihan memang selalu diwarnai berbagai narasi hingga kampanye hitam. Memang dibutuhkan kebijakan dalam menanggapi setiap narasi yang berkembang. Tinggal dikembalikan lagi apakah narasi PDIP anti agama merupakan suatu kebenaran atau hanya isapan jempol belaka. Masyarakat sudah cerdas sehingga pasti bisa memilah.

Dampak pernyataan tersebut membuat mundurnya PKB dari koalisi yang baru terbentuk. PKB mencabut dukungan kepada pasangan Mulyadi-Ali Mukhni kemudian berbalik arah merapat ke kubu lawan pasangan calon (paslon) Irjen Fakhrizal-Genius Umar. Hal semacam ini lumrah terjadi dalam sistem demokrasi, karena tidak ada yang namanya kawan maupun lawan sejati. Selama bisa memberikan keuntungan maka dukungan akan selalu berdatangan.

Beginilah sistem demokrasi bekerja. Demi mendulang suara, apa pun dilakukan. Tanpa memandang halal dan haram. Karena kebebasan menjadi nafasnya. Semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya hoaks belaka. Prakteknya, meski masyarakat menolak tetap saja keputusan berada di tangan penguasa. Belum lagi janji-janji yang ditebar saat kampanye ikut menguap seiring terpilihnya jadi pemenang.

Sudahlah berbiaya mahal, hasil dari demokrasi juga membawa sederet permasalahan. Lantas mengapa masih dipertahankan? Padahal ada sistem yang unggul dan terbukti membawa kesejahteraan. Sistem itu adalah Islam. Dalam pemilihan seorang pemimpin pun juga diperhatikan. Harus memenuhi kriteria dalam setiap bidang yang diemban. Kekuasaan hanya diberikan kepada mereka yang kuat menerima amanah. Karena kelak setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban.

Dalam sistem Islam, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân)
dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi).

Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai  mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt. (lihat QS. an-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.

Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah. Namun, dalam perkasa ushlub atau cara pelaksanaan bisa dilakukan dengan cara yang berbeda.

Hal inilah yang senantiasa dilakukan oleh kaum Muslim sejak Rasulullah saw diangkat menjadi kepala negara hingga runtuhnya Khilafah Ustmani tahun 1924. Sebagai kaum Muslim sudah selayaknya kita mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw termasuk dalam memilih seorang pemimpin. Dalam Islam tak akan ada istilah karir politik tamat. Meski tidak berkecimpung dalam pemerintahan, partai politik maupun warga sipil masih memiliki andil dalam perpolitikan, yaitu sebagai pengoreksi kebijakan.

Wallahu a’lam bishshawab

 

[LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis