Persekusi Kenapa Diapresiasi?
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Beberapa waktu lalu viral sebuah video yang diduga melakukan persekusi terhadap seorang ulama. Dalam video tersebut Ketua Pengurus Cabag (PC) Ansor Bangil Saad Muafi yang sekaligus anggota dewan terlihat membentak-bentak pria berpeci putih. Belakangan diketahui bahwa aksi tersebut merupakan upaya tabayun atau klarifikasi atas dugaan penghinaan terhadap tokoh NU Habib Luthfi di media sosial.
Tak sedikit warganet yang menyayangkan tindakan tersebut. Karena dianggap tidak memiliki adab ketika berbicara dengan orang tua. Apalagi ada tindakan pemaksaan untuk mengakui perbuatan di muka umum alias persekusi. Apalagi dengan cara keroyokan. Seolah lembaga peradilan sudah tidak ada. Sehingga kelompok atau perorangan bisa berbuat semena-mena.
Sayangnya hal itu justru diapresiasi oleh Fachru Razi selaku Menteri Agama. Dalam siaran persnya, Sabtu (22/8), Menag Fachrul Razi berkata, “Saya apresiasi langkah tabayun yang dilakukan Banser PC Ansor Bangil yang mengedepankan cara-cara damai dalam menyikapi gesekan di masyarakat terkait masalah keagamaan.”
Sosiolog Prof. Musni Umar menyesalkan respons Menteri Agama Fachrul Razi terhadap aksi penggerudukan Banser terhadap ulama yang dituduh HTI, di Rembang, Pasuruan, Jawa Timur. Sebab, dia melihat proses tabayun oleh Banser dilakukan dengan cara membentak dan mengintimidasi.
“Kalau pernyataan Menag ini benar, amat disayangkan, karena Islam tidak mengajarkan untuk membuat kekerasan, membentak, dan melakukan intimidasi kepada ulama atau kepada siapa pun,” ucap Prof Musni sebagaimana dikutip di akunnya di Twitter, Minggu (23/8). (fajar.co.id, 23/08/2020)
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah meminta Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mampu membedakan antara tabayyun dengan persekusi. “Menag semestinya punya kemampuan membedakan tabayyun dan persekusi. Memaksa seseorang mengakui aktivitas yang terbukti tidak di muka hukum adalah persekusi,” ujar Dedi ketika dihubungi Tagar, Sabtu, 22 Agustus 2020.
Dedi pun menyarankan agar Fachrul dapat menempatkan diri sebagai penengah dalam permasalahan tersebut. Terlebih, hal itu berkaitan dengan urusan yang menjadi bidangnya di Kemenag. Karena tindakan beliau yang memihak bisa disalah tafsirkan oleh masyarakat. Bahkan bisa memunculkan anggapan bahwa beliau tidak kredibel memegang posisi Menag. Sebab tidak memiliki kapabilitas sebagai Menteri Agama jika dilihat dari latar belakangnya.
Bukankah dalam sila ke dua, kita harus menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanakah pengamalan sila ke dua yang konon menjadi ideologi negara? Mengapa kepada kaum Muslim begitu kasar tetapi kepada kaum non Muslim justru bisa toleran? Apakah perbuatan persekusi merupakan manifestasi dari pengamalan pancasila?
Padahal antara tabayun (klarifikasi) dan persekusi adalah dua hal yang berbeda. Tabayun atau klarifikasi seharusnya dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan memperhatikan adab. Bukan dengan tindakan semena-mena. Tindakan semacam ini sama sekali tidak layak untuk diapresiasi. Pemberian apresiasi justru akan melegalisasi perbuatan yang jelas menyimpang dari jalur hukum dan melahirkan persekusi-persekusi lainnya.
Begitulah ketika kebenaran disandarkan pada nalar. Tolak ukurnya akan berbeda. Bahkan cenderung mengikuti hawa nafsu. Tentu hal ini berbeda dengan Islam yang mengukur kebenaran hanya berdasarkan Alquran, sunah, ijma’ dan qiyas. Jelas hal ini akan menghasilkan keadilan karena bersumber langsung dari al-Kholiq.
Seharusnya jangan hanya mengaku paling berislam, tetapi kasar terhadap saudara. Tetapi harus berislam dan mampu bersikap lembut. Karena begitulah tuntunannya. Apabila perkataan dan perbuatan tidak sesuai, justru merupakan salah satu ciri-ciri orang munafik. Sebuah sifat yang harus ditinggalkan kaum Muslim. Maka sudah seharusnya kaum Muslim itu senantiasa menyelaraskan antara pola pikir (Aqliyah Islamiyah) dan pola sikap (Nafsiyah Islamiyah) sesuai tuntunan syariat Islam. Sehingga bisa membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) pada kaum Muslim.
Kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) bisa diperoleh apabila ada pembinaan keimanan (akidah) dan pembiasaan pelaksanaan syariat Islam. Pembentukan kepribadian Islam sangat mustahil terlaksana ketika sistem sekuler yang digunakan. Bukannya membentuk kepribadian Islam, tetapi justru membentuk masyarakat sekuler yang memiliki kepribadian ganda (split personality). Di sisi lain mengakui keislamannya, tetapi di sisi lain menolak melaksanakan syariat Islam.
Maka untuk membentuk kepribadian Islam diperlukan peran keluarga yang berideologi Islam, lingkungan masyarakat yang menganut dan menjalankan syariah Islam, serta negara yang menerapkan syariat Islam secara total. Agar tak ada lagi kaum Muslim yang begitu kasar terhadap kaum muslim, tetapi lembek tehadap kaum kafir.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ra/LM]