Hagia Sophia dan Ketakutan Kebangkitan Islam
Oleh : Isnawati
Lensa Media News – Kembalinya fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid menyiratkan pesan tersendiri bagi dunia Internasional. Kebijakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dinilai banyak kalangan sangat berani dan layak diapresiasi. Kesan bahwa Erdogan Turki ingin diakui sebagai negara berdaulat sangat nampak, ada pertarungan geopolitik yang hendak dimenangkannya.
Pengumuman itu disampaikan satu jam setelah pengadilan tinggi negeri Turki membatalkan keputusan 1934 yang mengubah Hagia Sophia menjadi museum. “Keputusan itu diambil untuk menyerahkan pengelolaan Masjid Hagia Shopia kepada Direktorat Urusan Agama dan membukanya untuk ibadah,” kata keputusan itu, dilansir dari Aljazeera, Sabtu (11/7/2020).
Perubahan status tersebut menuai respon keras dari banyak kalangan, dari pejabat Gereja ortodoks Rusia, Vladmir legoido mengaku sangat kecewa atas keputusan tersebut, menurutnya akan menyebabkan perpecahan yang lebih besar. Menteri Kebudayaan Yunani, Lina Mendoni menyebutkan bahwa keputusan Erdogan adalah bentuk provokasi terbuka kepada dunia beradab. Kekecewaan juga disampaikan dari Kepala Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat, Morgan Ortagus.
Kekecewaan yang tampak membuktikan adanya ketakutan dengan geliatnya umat Islam, ditambah lagi setelah ada seruan dari majalah Albayrak Media Group. Pimpinan redaksi dari majalah Gercek hayat yang terbit tanggal 27 Juli 2020 menyeru tegaknya Khilafah Islamiyah, yang tentu mengancam kekuasaan para kapitalis.
Kekuasaan dalam Demokrasi dipahami dalam konteks siapa yang diuntungkan dan memberi keuntungan, rakyat hanyalah alat legitimasi. Mempertahankan kekuasaan dengan mengintervensi kebijakan agar sesuai dengan kepentingan kelompok dan individu telah mewarnai proses perpolitikan. Membangun sebuah peradaban berasaskan manfaat tentu sangat tidak sesuai dengan perpolitikan dalam Khilafah Islamiyah.
Politik sekuler menafikan peran agama dalam mengatur negara, standar baik dan buruk, benar dan salah bersifat relatif. Kemaslahatan bagi para pemilik modal adalah yang utama termasuk dalam peresmian masjid Hagia Sophia. Memainkan umat muslim untuk mendapat suara dengan memanfaatkan perasaan yang sudah lama merindukan status Hagia Sophia menjadi masjid merupakan sebuah cara.
Dalam konteks internal, masjid sebagai diplomasi politik yang khas bagi Erdogan, agar pergerakan Islam bergulir sesuai komandonya. Invasi menjadi penopang kekuatan diplomasi itu sendiri untuk melegitimasi tiap kebijakan. Kebudayaan dan agama juga menjadi arus utama yang menjadi agenda penting bagi Turki untuk merebut pengaruh internasional tetapi tidak dengan menegakkan Khilafah, walaupun seruan Khilafah begitu masif.
Secara lugas Erdogan tidak pernah menyatakan memperjuangkan Khilafah, respon yang dikeluarkan oleh Juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan -AKP yang berkuasa di Turki Amru Chalik sangat jelas. Chalik menjelaskan bahwa Turki adalah negara hukum demokrasi, sekuler dan sosial. Dia menyatakan bahwa merupakan kesalahan menciptakan polarisasi politik tentang sistem politik Turki.
Dia melanjutkan: “Saya berdoa memohonkan belas kasihan untuk komandan perang kemerdekaan dan pendiri republik serta presiden pertamanya, Mushthafa Kamal Ataturk dan seluruh komandan perang kemerdekaan. Kita akan melanjutkan langkah damai dan tegas menuju keinginan bangsa kita dengan kepemimpinan terampil presiden kita. Seruan kami bersama bangsa dan tujuan kita adalah negeri yang bersatu. Hidup Republik Turki.” (Zaman at-Turkiyah, 28/7/2020 M)
Arah tujuan politik Erdogan seperti yang disebutkan oleh juru bicara partai AKP (partai pengusung Erdogan) tidak akan mengubah sistem pemerintahan yang sekarang berupa Republik. Bahkan terang-terangan akan mempertahankan sistem Republik ini yang didirikan oleh Mustafa Kemal yang meruntuhkan Khilafah.
Khilafah menjadi mimpi buruk yang terus menghantui tidur para penyembah kekuasaan, lembaran sejarah kelam masa lalu membuat phobia pada Islam dan Khilafah. Keserakahan dan kezaliman di masa itu musnah dengan menerapkan Syariat Islam dan Khilafah. Begitu juga sekarang hanya Khilafah yang bisa mengembalikan simbol penaklukan dan mengembalikan status Hagia Sophia sebagai wakaf yang tidak bisa dirubah fungsinya yaitu tempat suci umat Islam. Sudah saatnya umat Islam bersatu, pemikiran yang sama, dan peraturan yang sama dalam naungan Khilafah ala min hajjin nubuwah menuju rahmatan lil alamin yang hakiki.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur [24] ayat 55).
Wallahu a’lam bis shawwab.
[ra/LM]