Refleksi Hari Anak Nasional : Predator Seksual Mengancam di Tengah Pandemi
Oleh : Dwi Lestariasih, A.Md
(Guru di Bantul Yogyakarta)
Lensa Media News – 23 Juli setiap bulannya diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Dengan peringatan tersebut diharapkan Indonesia mampu mewujudkan negara ramah anak. Akan tetapi terungkapnya aksi predator anak di awal bulan ini menambah daftar kelam nasib generasi negeri ini. Si predator merupakan warga negara Perancis, yang belakangan tinggal di Indonesia. Bermodalkan perlengkapan fotografi, pelaku berinisial FAC (65) alias Frans alias Mister menawarkan jasa fotografer kepada anak-anak jalanan yang usianya mayoritas di bawah umur dengan iming-iming jadi fotomodel.
“Kasus eksploitasi secara ekonomi atau sexual child sex groomer terhadap 305 anak di bawah umur di beberapa hotel di wilayah Jakarta. Dalam rentang tiga bulan terakhir yaitu sekitar Desember (2019) sampai Febuari (2020), pelaku melakukan exploitasi terhadap anak di hotel O, Jakarta Barat,” jelas Nana (detiknews.com, 10/7/2020).
Terungkapnya kejahatan FAC ini bukanlah yang pertama, Kasus serupa sebelumnya, pada tahun 2015 Neil Bantleman, guru Jakarta International School (JIS) menjadi terdakwa dalam kasus pelecehan seksual. Kasus kekerasan seksual ini dilakukan terhadap siswa Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (JIS). Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan setidaknya ada dua korban yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Masih banyaknya predator seksual pada anak membuat banyak pihak, terutama orang tua, sangat khawatir. Apalagi, trauma psikologis yang dialami anak-anak akibat hal tersebut sulit untuk disembuhkan dan dapat menghancurkan masa depan anak-anak. Bahkan, korban tersebut juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Seperti kasus yang terjadi pada remaja putri pelaku pembunuhan terhadap anak berusia lima tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada awal Maret lalu. Pelaku ternyata merupakan korban tindak kekerasan seksual. Walhasil, tingkat kejahatan seksual pada anak pun semakin menjamur di lingkungan sekolah, rumah maupun di lingkungan sekitar.
Akar Masalah
Tidak bisa dipungkiri keterpurukan ekonomi seringkali menjadi pemicu korban mudah jatuh dalam perangkap, sebagaimana yang diungkapkan Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (9/7/2020).
“Para korban ini merupakan anak jalanan perempuan yang kemudian mereka dibujuk dengan memberikan sesuatu imbalan uang. Mereka didandani make up sehingga terlihat menarik. Kemudian mereka akan dijadikan fotomodel dan mereka akan disetubuhi,” Nana menuturkan selain diberi janji jadi fotomodel, FAC juga memberi imbalan uang sebesar Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta kepada korbannya.
Loncatan teknologi yang tidak dibarengi dengan penguatan akidah menyebabkan anak mudah sekali tergiur untuk mendapatkan kesenangan duniawi meski harus melanggar norma-norma agama. Ditambah lagi gempuran sekularisme yang memandang agama tidak perlu mengatur kehidupan melahirkan kebebasan tingkah laku sehingga tidak peduli lagi halal dan haram.
Islam Solusi Tuntas Masalah Predator Anak
Islam menetapkan bahwa manusia diciptakan semata-mata hanyalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sehingga tujuan hidup manusia bukanlah kesenangan duniawi semata. Tujuan hidup seorang muslim adalah menggapai rida Allah yaitu dengan tunduk dan terikat dengan aturan dari Allah. Halal dan haram senantiasa menjadi pegangan dalam bertingkah laku. Dalam kehidupan sosial Islam mewajibkan menjaga pandangan dan memelihara kemaluan bagi laki-laki maupun wanita, menutup aurat kecuali kepada mahramnya (QS An Nur : 31).
Setiap pelaku maksiat (orang yang melanggar aturan) di dalam Islam dianggap sebagai kriminal dan akan diberi sanksi sesuai dengan kadar kemaksiatannya. Islam memandang tindak predator seksual sebagai kejahatan berat. Maka dalam hal ini Islam memiliki sanksi tegas yang mampu memberi efek jera kepada pelaku pencabulan pada anak. Dengan penerapan aturan dan sanksi yang tegas akan menjadi pencegah agar tak ada individu yang berani melakukan kekerasan seksual pada anak. Sistem sanksi dalam Islam menetapkan pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai denda 1/3 dari 100 ekor unta, atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990, hal 214-238).
Oleh karena itu, dengan adanya penerapan aturan Islam serta sanksi tegas inilah yang akan mampu mecegah terjadinya pelecehan seksual pada anak dan hal ini hanya akan terwujud dengan penerapan syariat Islam secara kaffah.
[ln/LM]